:Ken Danis & (alm) Lilin
Sudah lama bapak tak menangis, Ken! Sebenar-benarnya menangis. Seingat bapak, sebenar-benarnya tangisan terakhir bapak pecah ketika Khuzaima, ibunda sahabat bapak, almarhum Sugeng, memeluk bapak ketika bapak datang di malam ke tujuh setelah Sugeng dimakamkan.
Lewat pintu belakang, petang itu, ketika bapak menghadiri tahlilan kematian Sugeng, bibi Khuzaima mencegatku di depan pintu. “Dia pergi duluan, Nak! Dia pergi,” katanya lirih sembari memelukku. Tangisnya menderas. Sebagian air matanya membasahi kemeja krem yang bapak kenakan. Dia meneruskan gumamannya, “aku selalu ingat kamu setiap memandang fotonya.”
Ketika itu, di bulan Agustus 2004, tujuh hari setelah Sugeng menyerah oleh ganasnya kanker tulang yang menggerogotinya selama hampir setahun. Bapak memaksakan diri hadir di acara tahlilannya. Menumpang Mandala Airlines, bapak berangkat dari Batam menuju Surabaya. Menyewa taksi seharga Rp120 ribu dari Juanda ke Singosari dengan sopirnya terlalu banyak omong, bapak hanya bisa menghadiri hari terakhir tahlilan sahabat bapak itu. Tidak bisa lebih awal dari itu.
Malam ke tujuh itu, menjadi salah satu malam yang sangat emosional. Bibi Khuzaima terus saja menangis, ketika mengajakku ngobrol berdua sesaat seusai tahlilan. Ibu mana Kenny, yang tidak sangat berduka kehilangan seorang putra yang baru beberapa bulan lulus kuliah. Seorang putra yang tidak pernah membantah apa yang dikatakan orangtuanya. Seorang putra yang tampan dan mengesankan. Ibu singamu mengenang Sugeng sebagai lelaki yang sangat sopan, sekaligus sangat menggoda setiap mata wanita. Dan bapak merasakan betul kesedihan bibi Khuzaimah ketika itu.
Bapak menangis seusai itu. Seorang diri. Sampai-sampai bapak harus meloloskan sebotol Black Label yang bapak bawa dari Batam yang sejatinya untuk oleh-oleh beberapa rekan bapak di Singosari. Untuk membantu meredakan kesedihan bapak. Bapak masih ingat betul, ketika cairan-cairan coklat minuman yang bapak tenggak mengairi tenggorokan bapak, membuncah pula kenangan-kenangan atas Lilin, panggilan tersayang untuk Sugeng.
Kenapa bapak mengenang hari yang menyedihkan itu, Ken? Karena, sahabat bapak Lilin adalah salah satu kepingan dari serangkaian kisah cinta dua Singa.
Kau masih ingin mendengarkan ceritaku, Le? Okelah! Jika kau bersedia, akan bapak teruskan kisah ini, agar kau kelak bisa mengirim doa untuk sahabat bapak itu. Sepotong doa mungkin tidak cukup! Tapi itu lebih baik ketimbang kau sama sekali tidak tahu akar sejarah yang melingkupimu. Mengenal sahabat-sahabat bapak. Mengenal orang-orang yang mencintai bapak.
Kami, bapak dan Sugeng, tumbuh dalam sebuah keserasian antara tawa, kegaduhan, cinta, dan persaingan intelektual yang memuakkan. Di setiap kami ada, Lilin selalu mendapatkan perhatian dari wanita yang terindah. Namun bapak selalu bisa mengobrak-abrik kesombongan keindahan wanita itu. Lilin selalu bisa masuk ke sekolah terbaik, dan bapak dengan mudah berada di sampingnya. SMP dan SMA kami sama sekolah. Terakhir, ketika dia memilih kuliah di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, bapak mengolok-oloknya sebagai anak gunung yang memaksakan diri untuk mencintai lautan. Bapak dan Lilin, kami berdua kerap menghabiskan liburan di puncak-puncak gunung di seantero Malang.
“Singosari yang dijejali gunung-gunung dengan puncak-puncaknya yang meruncing, kenapa harus kau pilih lautan?” itu kata bapak kepadanya saat berdebat kusir soal pilihannya kuliah. Dia tertawa. Dia menjawab, “aku sudah bosan dengan sebuah pendakian. Aku ingin mengarungi lautan hingga ke negeri seberang.”
Okelah! Mungkin karena gemericik air di sungai yang mengalir sebelah rumahnya yang membuatnya akrab dengan air, hingga Lilin memilih lautan. Bapak ingat, Lilin adalah salah satu kawan bapak yang paling jago berenang. Ketika bapak memilih menggapai buah jambu di ranting terpucuk, Lilin lebih suka mengail ikan di bawahnya. Untuk kemudian, kami bakar ramai-ramai ikan tangkapannya sebagai lauk makan besar di setiap Minggu malam, ketika kami menghabiskan waktu menunggu siaran Liga Italia. Mungkin keakraban dengan air itu, yang menjadikan dia memilih dunia kelautan.
Kelak kau akan memilih jalan hidup yang bagaimana, Ken? Ibu singamu selalu berkata padaku, “biarkan Kenny berjalan di dunia yang dia pilih. Kita tak berhak atas apa pun dari hidupnya. Tugas kita hanya menyodorkan berbagai macam pilihan kepadanya. Terserah dia nanti memilih jalan yang mana.”
Bapak setuju dengan kata-kata ibumu. Kau mau jadi dokter, Nak? Seperti keinginan bapak waktu kecil dulu? Terserah kamu. Atau kau mau jadi penulis? Menjadi guru seperti ibumu? Polisi? Olahragawan? Semua terserah kamu! Bapak hanya berpesan, jadilah apa pun yang membuatmu gembira. Tanpa sebuah keterpaksaan.
Kembali ke cerita tentang almarhum Sugeng. Satu hari ketika bapak mengutarakan niat untuk pergi meninggalkan Singosari, mengejar ibumu, Sugeng adalah orang yang paling berkeberatan dengan niat itu. “Kau mengejar kemustahilan!” kata Sugeng pada bapak. “Kami semua di sini menyayangimu. Ada banyak kedukaan yang akan kau dapati ketika kau meninggalkan kami semua. Kumohon, lupakan semua kemustahilan itu.”
Ketika itu, bapak tidak tahu kedukaan apa yang Sugeng maksudkan. Yang jelas, tak ada yang mustahil yang bisa bapak rengkuh selama semuanya terpikirkan secara nalar. Bapak tahu, Sugeng adalah salah satu orang yang tidak setuju bapak bercinta dengan ibumu. Namun ketika bapak mengatakan bahwa ibumulah satu-satunya wanita yang bisa membuat bapak menjadi sebenar-benarnya manusia, Lilin tak berkata apa-apa. Dia menyerahkan sepenuhnya keputusan atas hidup bapak. Dia hanya berpesan, “kembalilah! Sekalipun kau menemukan jalan bahagia di negeri seberang.”
Hingga, kedukaan itu datang tanpa diundang. Sugeng meregang nyawa tanpa bapak ada di sampingnya. Kelak, ini menjadi sebuah penyesalan yang tak berkesudahan. Ketika bibimu Irma menelepon bapak memberitakan kematian Lilin, bapak baru tersadar, keangkuhan yang selama ini melingkupi hati bapak, sewaktu-waktu bisa meleleh cepat oleh takdir. Bagi bapak, hidup yang baik adalah, bagaimana membagi cinta kepada orang-orang yang menyayangi kita. Dengan seadil-adilnya. Sekaligus membuat lawan mengangkat topi untuk keteguhan kita. Dan ketika bapak membabi-buta mencintai ibumu, itu adalah sebuah kesalahan yang tak terbayar. Karena ada banyak cinta untuk bapak yang harus kuperhatikan.
Mencintai ibumu, Ken, juga berarti melukai banyak cinta yang bapak punya. Bukan berarti mereka tidak sayang pada ibumu. Di hari-hari ketika aku dan ibuku masih di Malang, mereka sangat gembira ketika ibumu ada bersama mereka. Hanya saja, mereka memang belum sepenuhnya setuju, bahwa perbedaan adalah sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan. Mereka tidak setuju hanya karena ibumu tidak sama dengan kami. Mereka masih menganggap, surga adalah satu-satunya milik orang Islam. Ibumu yang bukan Islam, menurut mereka tidak berhak mendapatkan surga itu.
Hanya nenekmu Zumronah yang tidak berpikiran seperti itu. “Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu. Aku orang bodoh, dan kau jauh lebih tahu tentang resiko yang kau pilih. Kuserahkan semua pilihanmu kepadamu. Meskipun aku lebih suka kau tidak mengambil resiko itu,” demikian nenekmu berkata pada bapak. Ketika nenekmu berkata demikian, kalimat itu seolah bukan keluar dari mulutnya. Bapak tak yakin, wanita yang hanya lulusan sekolah dasar seperti nenekmu sanggup mengeluarkan kalimat yang demikian. Sebijaksana demikian. Dan inilah yang menyemangati bapak untuk mengepak ransel. Mengejar ibumu. Meninggalkan sejumlah cinta, untuk mendapatkan sebuah cinta.
Kelak, jika keadaan sudah sangat memungkinkan. Bapak akan sebisa mungkin membayar cinta-cinta yang bapak tinggalkan. Memenuhi pesan Lilin untuk kembali ke Malang. Memperkenalkanmu pada pucuk-pucuk gunung yang menyejukkan. Menapaki setiap jalan-jalan di kota Malang yang rindang dan selalu basah oleh deraian hujan.
Sekarang, mungkin bapak akan melanjutkan keinginan Lilin “mengarungi lautan hingga ke negeri seberang.” Sekarang, bapak berusaha bercinta. Bercinta dengan ibumu, kamu, dan juga lautan.
Catatan: Foto ilustrasi di atas adalah foto plantar di Kecamatan Sembulang yang saya ambil pada 27 Juli 2006 silam. Saya olah sedikit di Photoshop untuk memberikan kesan “muram”.