Aku ragu mengatakan, apakah dia seorang lelaki. Aku ragu memastikan, apakah peler kemaluannya berfungsi sebaik yang pada umumnya lelaki punya. Bahkan, sampai saat ini, aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri, penampilannya yang selalu klimis maskulin dengan minyak rambut yang selalu berlebih hingga terleler ke jidatnya, sanggup membuat setiap perempuan takluk di ketiaknya.
Aku meragukan dia benar selayaknya lelaki. Karena aku tahu, mulutnya terlalu berisik untuk itu. Bahkan, jauh lebih berisik daripada mulut perempuan paling berisik yang pernah aku kenal.
Mulutnya berbau lipstik.
Thelma, pacarku, dalam candanya pernah mengungnkapkan, ia tak pernah bisa berteman dengan sesama perempuan, karena berisiknya itu. Tapi, jauh-jauh ia menambahkan, seorang perempuan yang demikian adalah sebuah kewajaran.
”Berbeda dengan lelaki yang dianugerahi mulut yang sederhana. Lelaki sebenarnya, hanya tertarik membicarakan tentang pekerjaan mereka, politik, sastra, sepak bola, serta lenguhan tertahan saat orgasme. Bukan kasak-kusuk murahan! Mulutnya bukan berbau lisptik!” Ini kata Thelma.
Dan, alasan Thelma jatuh cinta padaku, karena, katanya, aku hanya suka mengatakan bahwa kelak aku ingin punya beberapa ekor lembu, dengan sebuah rumah mungil yang berdiri di tengah hamparan kebun yang penuh dengan tanamaman rumput gajah. Ayam-ayam berseliweran di antaranya. Dengung-dengus klanceng penghasil madu, dan juga cericit burung prenjak. Tempat yang tak memungkinkan ada lelaki-lelaki bermulut lipstik.
Namun, lelaki itu, yang rambutnya selalu mengkilap tersisir rapi ke samping kiri. Klimis rambutnya terminyaki hingga terleler ke jidatnya, apakah sebenar-benarnya lelaki?
Setidaknya ia pernah mengatakan demikian. Setidaknya ia pernah mengatakan, seorang pelacur tua pernah tergila-gila padanya hingga bersedia bunuh diri, jika ia memintanya. ”Bukankah itu bisa dijadikan sebuah pembuktian?!” Tegasnya. Selanjutnya, keluarlah pula sejuta kata-kata berbau lipstik. Berbicara tentang aneka macam jenis dan merek pakaian yang ingin dimilikinya. Berbicara tentang sinetron murahan. Membelok berkelakar tentang warna apa celana dalam yang dipakai seorang rekan wanita yang baru saja lewat di depan kami. Hingga gosip-gosip terkini artis-artis ibukota.
Baunya mulutnya memang sebenar-benarnya bau lipstik!
Ah…, hingga langit-langit di atas kami merebak tajam membau lipstik. Ketika satu kali saat kami berdua terjebak dalam obrolan di sela-sela istirahat kerja. Karena mulut lisptiknya, selayak lipstik murahan produk Republik China yang banyak dijual pada deretan kali lima.
“Setidaknya aku jauh lebih banyak membelanjakan gajiku untuk minyak rambut ketimbang engkau yang selamanya, rambutmu, tak pernah mengenal sisir. Hal itu sudah cukup untuk mengesahkan aku sebagai lelaki yang sebenarnya,” begitu katanya. Entahlah, siapa yang salah?
Ketika itu, aku hanya berdoa, semoga ada seorang datang di antara kami. Dan, mengajakku untuk pergi dari hadapan lelaki berambut klimis ini. Agar kata-katanya tidak terlalu lama merendamku ke dalam sebuah bejana omong kosong semata.
Aku selalu menyukai lelaki yang mengumbar kata. Namun bukan yang berbau lipstik. Setidaknya, tidak seperti apa yang selalu keluar dari mulutnya.
Dan, aku masih sulit memercayainya, apakah di benar-benar seorang lelaki? Hanya karena penampilannya yang klimis maskulin serba menarik hati.
Dan, wanita seperti apa yang sanggup bertahan dengan lelaki bermulut berisik seperti ini? Semoga pelacur tua yang pernah ia ceritakan, belum melupakannya.
”Sebenar-benarnya lelaki, adalah yang hanya tertarik membicarakan tentang pekerjaan mereka, politik, sastra, sepak bola, serta lenguhan tertahan saat orgasme. Bukan kasak-kusuk murahan,” setidaknya Thelma pernah mengatakan yang demikian.***
Batam, September pertama 2005