Kereta MRT dari Hougang menuju Harbourfront Sabtu (8/1/2023) siang itu, terasa lebih hangat dari biasanya. Dan saya justru menyukainya. Akhir pekan, kereta memang selalu penuh, seperti di hari itu.
Udara dingin yang disemburkan air conditioner dari atap kereta, tak cukup ampuh mengatasi jejalan panas yang dihasilkan tubuh para penumpang yang berdesakan. Padahal biasanya, saya selalu menggigil oleh air conditioner kereta api Singapura. Yang kerapkali disetel terlalu dingin.
Tubuh saya yang ramping, memang selalu bermusuhan dengan air conditioner. Karena itu, di tas, selalu tersedia baju hangat.
Siang itu, udara Singapura memang sangat menyengat. Sudah beberapa hari Singapura tak benar-benar dihujani hujan. Paling gerimis sak-icrit. Itu pun sebentar saja.
“Semoga sore hari hujan, biar lapangan bola tempat kami main tidak keras,” begitu harapan saya. Dalam hati. Berdiri di pojok kereta, di antara berjejal ribuan penumpang, saya malah memikirkan sepakbola. Sialan.
Di Little India, kereta melonggar, udara mendingin. Ketika saya berhasil mendapatkan tempat duduk, sepasang kakek-nenek yang duduk tepat di depan saya, mencuri perhatian. Pergelangan tangan kiri keduanya, terhias Rolex. Jam tangan mewah itu, terlihat mengkilap, seperti masih baru. “Orang kaya ini…” ini pikiran pertama yang muncul di benak saya.
Tapi, tidak juga!
Di Singapura, sekarang, tidak perlu berstatus “orang kaya” untuk bisa memakai Rolex, atau jam-jam tangan mahal lainnya. Sepasang kakek-nenek itu misalnya; selain jam mewah di pergelangan tangan mereka; tidak ada atribut apa pun yang bisa menunjukkan bahwa mereka punya duit berlebih.
Atau, setidaknya yang punya selera “Rolex”. Si perempuan, berumur di akhir 60an, hanya mengenakan kaus oblong tanpa merek bergambar kartun anak-anak, plus bermuda kusut yang warnanya tak meching dengan warna kaos. Sepatu lari yang dikenakan nampak sedikit kedodoran.
Make-upnya yang ketebalan untuk perempuan seusia dia; serta kalung, gelang, dan cincin emas oversize di sekujur tubuhnya; kian menambah kesan “norak”.
Sepanjang perjalanan kereta, saya memperhatikan dia begitu bangga dengan jam tangannya. Terus saja jam itu dipandangi sambil digoyang-goyangkan. Mirip balita yang baru mendapat mainan baru.
Suaminya, yang juga bercelana oblong, bermuda, dan bersepatu lari; lebih bisa menjaga emosi. Meski bahasa tubuhnya seolah hendak menunjukkan ada barang mahal di pergelangan tangannya, namun dia tak sekampungan istrinya yang terus saja memandangi jamnya, sambil menggoyang-goyangkan.
Memakai jam mewah adalah “wabah” baru orang-orang Singapura.
Setidaknya itu yang saya perhatikan dalam setahun belakangan. Yang muda atau tua, yang kaya maupun yang kere, di pergelangan tangan mereka KINI, mudah ditemukan jam-jam mewah berbahan metal atau emas maupun perak yang berkilau. Mau berbaju olahraga, atau pakaian kantoran, mau ke pasar, ke tempat kerja, atau sekedar berolahraga; pergelangan tangan orang-orang Singapura kini, banyak berhias jam-jam mewah itu.
“Wabah” ini, seperti menggeser kegemaran orang Singapura sebelumnya yang menyukai jam tangan sporti semodel G-shock, atau jam-jam pintar seperti Apple Watch.
Bahkan ketika ketemu seorang tetangga di lift, Senin (9/1/2023) pagi, saya perhatikan pergelangan tangannya kini juga berhias jam metal mahal yang mengkilap. Menggantikan jam pintar yang dulu selalu dibanggakannya.
Sepanjang di lift, beberapa kali dia mengangkat tangannya, memperhatikan jam tangannya sendiri.
“Mau exercise Uncle?” tanya saya basa-basi.
“Yeah.. begitulah. Kamu tahu bukan, ini jadwal rutin saya,” ia menjawab.
Saya memang tahu kebiasaan dia. Selama kira-kira satu jam ke depan, dia akan berolahraga, jalan kaki, keliling taman. Sembari chit-chat dengan kenalan-kenalan yang ditemuinya. Terumtama dengan perempuan-perempuan yang setujuan: jalan kaki bersama.
Uniknya, sang istri pun melakukan kegiatan serupa dan di tempat yang sama. Namun keduanya tidak pernah mau jalan bersama. Aneh memang, meskipun saya tahu, hubungan keduanya baik-baik saja.
Dua hari berikutnya, saya bertemu tetangga ini lagi, juga pagi hari ketika ia hendak berolahraga (saya mengantar anak sekolah). Saya lihat di kedua pergelangannya, masing-masing ada satu jam. Di pergelangan kiri ada jam metal mewah itu, sementara di kanan ada jam pintar yang sebelumnya selalu dia pakai.
Saya tak tahu dari mana “wabah” ini pertama kali dimulai. Saya menduga, kian mudahnya seseorang membeli barang-barang impian dengan cara kredit, itu yang mungkin membuat masyarakat Singapura kian gila mengumbar kegemaran belanja. Karena, tidak hanya orang-orang kaya yang KINI dijangkitinya. Hampir semua lapisan. Bahkan, anak-anak muda yang baru lulus sekolah, kini banyak mengenakan jam-jam tangan mahal itu.
Atau bisa jadi, jam mewah itu adalah bentuk atau ekspresi dari KETIDAKPERCAYA-DIRIAN orang-orang Singapura yang memang terkenal lebih pemalu dari yang kelihatannya.
Orang tidak percaya pada diri mereka sendiri, tidak percaya pada kemampuannya, biasanya akan memilih “memamerkan” kekayaannya, kecantikannya, atau apa pun yang dimilikinya; untuk menutupi ketidakpercayaan diri itu.
Saya sendiri, yang pasti tidak pernah punya jam, tidak pernah bisa menyukai jam, juga tidak mampu membelinya; semoga saya tidak ikut terjangkit “wabah” belanja barang mewah ini.