SMS itu, datang jauh-jauh hari untuk memastikan dia bisa bertemu saya. Dari seorang kawan lama, yang memang sudah lama tidak pernah ketemu. As’yari, kawan lama yang mengirim SMS saya itu, sepekan lalu. Dalam SMS-nya dia menulis, apakah saya bisa ketemu dia saat ia jalan-jalan ke Singapura? Bisa sekedar ngobrol, say hallo, atau ngopi bareng sembari ngerokok nikmat seperti yang biasa dilakukan saat di kampung. Saya menjawabnya, kemungkinan “bisa!”. Asal tak ngepas jadwal saya pulang ke Batam.
As’ari adalah kawan kampung, juga kawan yang sama-sama satu sekolah dari taman kanan-kanan hingga madrasah ibtidaiyah di kampung kami, Singosari, Malang, Jawa Timur. Tapi setelah itu, dia memutuskan bersekolah di tsyanawiyah hingga aliyah, sementara saya memilih sekolah di SMP dan SMA negeri yang SPP-nya lebih murah. Dia anak seorang juragan minyak di kampung saya dan sebetulnya sejak kecil kami tak pernah benar-benar akrab. Mungkin perbedaan status di antara kami yang membuat keakraban tidak terjalin. Di madrasah, dia masuk dalam golongan “anak berada”, bersanding dengan teman-teman anak orang kaya lainnya seperti anak juragan pemilik pesantren (Singosari adalah salah satu pusat pesantren di Malang), anak wakil rakyat, anak pengurus sekolah/yayasan, anak pemilik toko emas, maupun anak juragan tanah.
Satu-satunya ingatan saya pada As’yari yang masih melekat hingga saat ini, adalah sepatu merek Kashogi warna hitam yang dipakainya saat sekolah madrasah. Ia salah satu siswa yang pertama memakai sepatu yang kemudian sempat sangat populer di kalangan pelajar kala itu. Saya, ketika itu, begitu mengingini memiliki sepatu keren itu, namun tak pernah kesampaian. Satu-satunya sepatu “bagus” yang pernah saya miliki adalah sepatu merek Kleen warna putih berlis hitam, pemberian sepupu. Ketika itu saya begitu malu setiap kali memakainya, karena mengira itu sepatu untuk perempuan, karena memang bentuknya yang sederhana, dan mirip sepatu perempuan. Sepatu yang lebih dikenal sebagai “sepatu cat”. Tapi saya terpaksa memakainya, karena memang tidak ada lagi sepatu yang bisa saya pakai.
Seingat saya yang lain, As’ari, dan juga golongan “anak berada” lainnya, juga kerap ke sekolah dengan mbontot roti lapis mentega dengan taburan meses aneka warna yang sepertinya sangat lezat. Itu benar-benar di luar jangkauan siswa-siswa miskin seperti saya, yang bayar sekolah saja harus menunggu setiap akhir tahun pelajaran, setelah ibu saya pergi ke pegadaian untuk menggadaikan barang berharga apa saja yang dipunya. Sepatu Kashogi dan roti lapis mentega bertabur meses adalah penjelasan status sosial yang tinggi ketika itu.
Saya sendiri tidak pernah menyesali “kemiskinan” yang saya alami ketika anak-anak. Karena memang, meski serba kekurangan, masa itu justru menjadi masa yang serba indah dan paling membahagiakan sepanjang usia sya. Terutama bagi anak-anak kampung yang tak pernah menginginkan apa-apa. Alam telah menyediakan semua yang kami butuhkan. Buah-buah melimpah di hutan dan pekarangan orang lain, meski kami harus mencuri, tapi si pemilik tak pernah marah jika kita mencuri secukupnya untuk dimakan. Sungai-sungai jadi tempat bermain menyenangkan yang kami jadikan tempat mengais makan berupa lauk ikan dan udang, tempat berenang, hingga buang air besar. Sawah yang penuh dengan belut, ikan, hingga dijadikan tempat “perang-perangan” damen setiap kali panen tiba. Atau lapangan bola yang setiap sore selalu ramai dengan canda tawa dan derap kaki bocah-bocah yang tengah mengejar bola buruk yang biasa dibeli secara patungan. Saya, dan juga mungkin anak-anak miskin seusia yang pernah tinggal di desa, tidak pernah mempersoalkan kemiskinan. Yang mungkin, kini, begitu mengkhawatirkan saya adalah, ketika generasi-generasi berikutnya tak lagi bisa menikmati sawah dan seisi alam yang melimpah. Karena lahan-lahan di kampung kami, dengan begitu cepat sudah menjadi perumahan-perumahan dan pusat-pusat perbelanjaan. Anak-anak miskin seperti saya dulu, kini tak lagi bisa “menyusu” pada alam, dan yang menjadi kekhawatiran, mereka gelap mata menyaksikan “kemewahan” yang hilir mudik di sekitar mereka. Hingga kemudian mereka putus asa, berubah menjadi penjahat, perampok, maling, jambret, hingga pembunuh dan pemerkosa. Para kriminal itu, sejatinya kita – masyarakat – lah yang menciptakannya.
***
Kawan lama saya, Asyari, datang ke Singapura bersama tiga rekannya. Keempatnya adalah pecinta, atau kalau boleh saya sebut, penggila tanaman anggrek. Kebetulan, tanggal 16 hingga 24 hari Minggu ini, Marina Garden by the Bay menggelar pameran anggrek. Satu-satunya alasan mereka datang ke Singapura, adalah ingin berburu anggrek sekaligus menikmati pameran tersebut. Empat hari mereka di Singapura – meskipun saya tak pernah benar-benar menemani mereka – cuma satu yang ada di pikiran mereka: anggrek.
Singapura sendiri, memang telah menjadikan anggrek sebagai “bunga nasional”, dan para petani serta pekebunnya begitu serius membudidayakan sekaligus mengkawin-silangkan anggrek dari seantero dunia. Sebelum bertemu As’yari dan rombongannya, saya sempat bertemu dengan seorang kawan SMA yang betulan juga datang dalam rangka kunjungan kerja ke Singapura. Kawan saya ini, Yoni, tumbuh besar bersama tanaman-tanaman hebat, karena orantuanya adalah seorang peneliti di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur. Sebuah kebun raya berusia lebih tua dari Republik Indonesia, dan punya koleksi ribuan tanaman anggrek. “Bapak saya dulu sering datang ke Singapura untuk sharing, belajar bersama soal tanaman anggrek,” kata Yoni ketika saya menginformasikan akan ada pameran anggrek.
Salah seorang anggota rombongan Asyari, bernama Dedek, selain penggila anggrek, dia adalah petani anggrek di Malang. Pada saya dia mengungkapkan fakta hal yang justru membuat saya sedih sebagai “orang kampung”. Di Singapura, jenis-jenis anggrek yang berhasil dibudidayakan dengan baik, sebetulnya banyak yang berasal dari Indonesia. “Di Indonesia sendiri, (kemudian) jadi langka dan mahal. Di alam (bebas) juga sudah nyaris sulit ditemui,” jelas dia. “Anggrek di alam itu yang paling bagus dan mahal. Tapi sekarang sudah sangat susah mencarinya.”
Saya masih ingat, ketika kaki-kaki ini masih ligat untuk berjalan mendaki bebukitan di gunung di kampung kami yang kami jelajahi: di antara pohon-pohon tinggi di dalam hutan, kami tidak susah melihat tanaman anggrek liar tumbuh subur tanpa diganggu. Kini, mungkin, seperti yang dikatakan Dedek, sudah sangat langka menemukan anggrek yang bisa tumbuh merdeka di alam liar. Yang lebih mengkhawatirkan saya, mungkin generasi Indonesia berikutnya yang ingin melihat anggrek, bakal berbondong-bondong ke Singapura. Hanya untuk mengenal anggrek.
(sultan yohana)
Foto, salah satu tanaman anggrek yang dipamerkan di Marina Garden by the Bay.