Muncul dari gedung Bank OUB, lelaki yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mengenakan kaos oblong hitam dan celana training sewarna, ia hanya mengenakan sandal slop yang ujung kulitnya sudah pada mengering. Jari-jarinya yang panjang dan berkeringat, terlihat kotor ditempeli debu.
Di tangan kanannya, terpegang tas plastik putih kecil yang pasti isinya adalah barang pesanan saya. Sementara di lengan kirinya, tergantung helm full-face berwarna merah-hitam. Begitu ia di depan saya, keramahannya langsung muncul. “Maaf terlambat Bro, jalanan jam (macet),” katanya. Saya sih oke-oke saja, menunggu dia yang terlambat sekitar lima menit. Soalnya sudah terbiasa dengan “jam karet” di Indonesia.
Pertemuan saya dengan lelaki itu – saya inisialkan saja dengan huruf A, mengingat akan terbahas hal personal – di Punggol beberapa waktu lalu, menjadi pertemuan keempat kami. Sudah cukup lama saya kenal dengan dia. Lewat forum penghobi fotografi, pertemanan kami terbuhul. Beberapa kali saya beli alat-alat fotografi dari dia. Sebaliknya, dia juga kerap memesan alat serupa dari saya.
Di pertemuan-pertemuan sebelumnya, dia selalu menawarkan diri untuk datang ke tempat tinggal saya. Jarak rumah kami memang tak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit naik bus. Dan lagipula, dia punya mobil. Sebuah city car yang menyenangkan, yang di dalamnya penuh barang-barang balita. Si A yang usianya hampir sama dengan saya, pertengahan 30-an, memang punya seorang balita yang mengalami down syndrome. Tapi dia begitu menyayanginya.
Pertemuan kami selalu menyenangkan. Mungkin karena dia Melayu, bahasa tidak menjadi masalah di antara kami. Kami sama-sama suka ngobrol. Sama-sama perokok. Dia seorang terbuka, dan tak segan-segan bercerita tentang persoalan pribadinya. Termasuk pekerjaan dan anak semata wayangnya yang mengalami gangguan keterbelakangan mental itu.
Tapi di pertemuan terakhir itu, dia minta ketemu di Punggol. Daerah di mana dia tinggal. Saya iseng tanya, di mana mobil yang biasa dipakainya. Dia menjawab, “sudah terjual. Sekarang pakai motorcycle saja”.
Dia kemudian bercerita tentang alasan menjual mobilnya. Mulai dari biaya mahal sekolah anaknya, hingga pajak mobil yang kian tahun kian mahal. Belum lagi ongkos perawatan mobil dan parkir yang mencekik kantong. “Tak tahan lah…,” kata dia soal keuangan dia.
***
Untuk alasan sekolah mahal, saya mungkin bisa mengesampingkan. Mengingat kata istri saya yang guru special education, seorang WN Singapura yang kurang mampu menyekolahkan anaknya di SLB, bisa mendapatkan keringanan. Murid-murid istri saya yang autis, bahkan banyak yang biaya sekolahnya digratiskan. Ditanggung negara.
Saya lebih tertarik dengan alasan dia menjual mobil karena pajak, dan biaya operasional yang mahal. Singapura memang cukup “mempersulit” warganya memiliki mobil. Jika Anda tidak kaya banget, Anda akan berpikir panjang untuk membeli sebuah mobil di Singapura. Harga mobil di sini memang tidak terlalu mahal, apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan warga Singapura. Tapi, yang kemudian harus mereka pikir adalah biaya operasional yang mencekik, serta tidak efisiennya memiliki mobil. Sebagaimana yang dibayangkan.
Sebagai hitung-hitungan kasar saja, rata-rata seorang pekerja profesional di Singapura mendapatkan gaji sekitar 4 ribu dolar per bulan. Anggap saja sebuah city car seharga 50 ribu dolar, setiap warga Singapura yang punya pekerjaan baik pasti bisa membeli mobil. Tapi kemudian, biaya lain-lainnya yang melangit yang membuat seseorang enggan memiliki mobil di Singapura.
Seorang yang ingin beli mobil di Singapura, tidak hanya terbebani harga off the road mobil. Namun juga harus menebus sertifikat yang harganya bisa hampir sama dengan harga mobil itu sendiri. Bahkan nilainya ada yang mencapai 140 persen dari harga mobil itu sendiri. Tergantung ketersediaan kuota, tahun mobil, dan kapasitas mesin yang dibelinya. Semakin tua mobil yang dibeli, semakin mahal pula sertifikat yang harus dibeli. Tiap tahun, pemerintah Singapura juga membatasi kouta peredaran mobil di jalanan. Tak jarang, ketika kuota menjadi nol – yang berarti tidak ada penambahan mobil sepanjang tahun – harga sertifikat bisa sangat mahal.
Tiap enam bulan, pemerintah Singapura juga menarik pajak jalan raya dari mobil warganya. Besarnya sesuai kapasitas mobil, bahan bakar yang digunakan, hingga usia mobil. Khusus untuk usia mobil, kian tua mobil pajak jalan raya yang dibebankan kian besar. Mobil yang berusia 10 tahun misalnya, harus membayar tambahan pajak sebesar 10 persen dari pajak jalan raya yang wajib dibayar. Usia mobil 11 tahun, tambahannya 20 persen. Usia mobil 13 tahun naik menjadi 30 persen. Dan begitu kelipatan seterusnya, tergantung berapa tua mobil yang dimiliki.
Tidak ada pembatasan usia mobil yang bisa dipakai di Singapura, sebagaimana yang diyakini banyak orang Batam. Namun pemerintah meneribitkan dua jenis sertifikat mobil. Mobil yang sertifikatnya bisa diperbarui (renew), dan yang sekali pakai. Mobil yang sertifikatnya bisa di-renew, setiap 10 tahun sekali diperbolehkan memperbarui. Namun yang sertifikatnya tidak bisa diperbarui, setelah usia pemakaian berakhir, mobil harus dihancurkan. Discrap. Sekalipun usia mobil masih tergolong baru.
Kian tua mobil, kian mahal pajak yang harus dibayarkan. Ini juga menjadi pertimbangan warga Singapura, tidak mempertahankan mobil tua. Mereka berhitung, memelihara mobil lama lebih tidak menguntungkan ketimbang membeli mobil baru.
Ketidakefisian memilik mobil tidak hanya soal besarnya pajak yang harus ditanggung. Ongkos parkir adalah salah satu persoalan paling pelik yang harus dihadapi setiap pemilik mobil di Singapura. Sebagaimana persoalan kota-kota besar seperti Singapura, lahan parkir adalah masalah besar. Biayanya pun selangit. Sebuah mobil yang diparkir di bawah flat/apartemen saja, tiap jam rata-rata kena biaya 1 dolar, tergantung lokasi mereka tinggal. Kian elit lokasi, kian mahal pula. Jadi Anda bisa bayangkan, di saat Anda enak tidur di kasur, biaya parkir mobil Anda terus berjalan.
Ketika mobil diajak ke kantor, lagi-lagi biaya parkir menghadang. Coba Anda hitung, jika misalnya seorang berkantor di daerah kota seperti City Hall misalnya. Dengan biaya parkir kantornya sekitar 3 dolar per jam, setiap hari mereka harus merogoh uang sebesar 24 dolar, hanya ketika bekerja selama delapan jam. Bandingkan jika naik transportasi umum seperti MRT atau bus misalnya. Hanya butuh paling mahal 2 untuk bisa sampai tujuan. Itupun tidak bingung-bingung lagi mencari lahan parkir. Punya mobil? Sangat tidak efisian, bukan?
Belum lagi, mengurus parkir mobil sama dengan mengurus kepemilikan rumah. Housing and Development Board atau Kementerian Perumahan Singapura, punya departemen khusus untuk mengurusi parkir mobil. Jadi, Anda harus “membeli” lahan parkir terlebih dahulu untuk bisa parkir di tempat tinggal Anda.
Lewat pajak, harga mobil dan sertifikatnya, serta biaya operasional yang tinggi, pemerintah Singapura memang seolah-olah mempersulit warganya memiliki mobil. Saya mahfum sekali, mengingat jika memiliki mobil semudah di Batam, yang setiap keluarga bisa punya tiga hingga empat mobil, Singapura bakal macet total. Apalagi dengan program “mobil murah” yang sebenarnya tak murah itu.
Tapi kemudian, transportasi alternatif yang ditawarkan pemerintah Singapura memang sangat layak. Transportasi massal yang nyaman, murah, dan terkoneksi hingga sudut-sudut terjauh. Nyaman, tepat waktu, dan banyak. Itulah kenapa, setiap pagi saya berangkat kerja (ke Batam), di MRT atau Bus orang-orang Singapura berdasi atau berdandan menor dengan nyamannya memakai transportasi publik.
Saya, kerapkali ketika sudah berada di atas bus, sering muncul rasa iba melihat pemilik mobil, yang kebingungan saat mencari lahan parkir. Kini saya mengerti, kenapa kawan saya, Si A, lebih memilih menjual mobilnya, dan memilih kendaraan yang lebih simpel: sepeda motor.
Jika ingin Batam tidak macet, mungkin sudah saatnya Pemerintah Kota Batam membuat sulit warganya memiliki mobil. Tidak membiarkan satu keluarga punya tiga hingga empat mobil. Tapi, ya, syaratnya transportasi umum harus diperbaiki. Tidak seperti sekarang ini. Hari Minggu pekan pertama Oktober 2013 lalu misalnya. Saat saya menumpang busway dari Sekupang ke Batamcentre. Selain harus menunggu sangat lama, mesin busnya juga kriek-kriek. Seolah hampir jebol saat melalui tanjakan Tiban. Beberapa kali sebelumnya bahkan, busway yang saya tumpangi mogok saat naik tanjakan. Padahal kalau tidak salah, usia busway di Batam baru seumur jagung?
Nah ketahuan, dulu beli busnya dari kaleng bekas yang dipermak lagi ya?