Pukul 16.30 waktu Indonesia Bagian Atas. Selasa kedua bulan lalu. Terminal III Bandara Hang Nadim, pelan namun pasti, mulai penuh dengan wajah-wajah calon penumpang pesawat menuju Surabaya. Ketika jarum jam mundur beberapa menit sebelumnya:
Udara pengap di luar, yang menghajar saya sedari tiga jam lalu, kontan berubah mendingin kaku, ketika detektor logam pintu bandara berbunyi, saat tubuh kerempeng saya masuk. Dua orang sekuriti kontan menghampir saya. Dengan enggan, salah satu di antara mereka menyodorkan detector tangan. Dan, masih dengan ogah-ogahan, menyaput antero tubuh saya.
Tanpa senyuman.
Tak menemukan apa-apa? Memang! Saya bukan teroris atau sejenis pengedar narkoba. Kancing jins saya, yang terbuat dari besi berpelesir tembaga, penyebab bunyi itu. Tentu saja mereka tak menemukan apa-apa. Kalau pun dalam tubuh saya terdapat barang-barang yang sekira dilarang untuk dibawa, saya yakin, mereka tetap tak bisa menemukannya.
Kok?
Saya ini semodel artis standar peraih Piala Oscar. Tanpa gugup sedikit pun, plus senyum melebar dan joke ringan, saya bikin sekuriti-sekuriti itu enggan memeriksa jauh lebih detil tubuh saya. Srek-esrek-esrek…, detektor genggam itu, formalitas nampaknya, digesek-gesekkan begitu saja. Tak ada kesan kewaspadaan sedikit pun.
Apakah hal itu menyimpulkan, orang di negeri kita, tak ingin mempersulit urusan orang lain? Wallahua’lam. Namun, action saya tentu harus menjadi pertimbangan penting, dong!? Seandainya saya sekarang lagi membawa bom berkekuatan lipat tiga dari bom Bali, mungkin bandara berkelas A ini, sudah rata menjadi tanah. Ratusan nyawa bakal melayang sia-sia. Darah di mana-mana; ratap tangis kesakitan dan kehilangan nyawa; bermilyar kerugiannya; polisi yang lalu-lalang entah melakukan apa; dan yang pasti; ratusan nyamuk-nyamuk pers; baik dalam maupun luar negeri bakal menyesaki luluh-lantak bandara ini.
Indonesia berduka: Teroris berhasil masuk ke Bandara, begitu mungkin bunyi headline berita koran-koran Indonesia.
Untungnya saya hanya seorang pewarta, bukan teroris. Seorang sales berita yang akan terbang mudik, karena sehari lagi, kakak saya bakal menikah.
“Saudara Yohh?” Tanya petugas check-in, seorang cewek berkulit manis dengan dihiasi dua bola mata yang begitu indah, besar, bening, dan menyejukkan.
“Iya benar…,” Jawab saya.
“Bagasinya cuma segini?” tanyanya lagi. Jari lentiknya sibuk mencoret-coret selembar kertas nama daftar penumpang.
“Memangnya kenapa?” sambung saya.
“Kok?” dia bengong dan saya bingung.
“Cuma seonggok rensel kecil ini?” tegasnya sekali lagi.
“Memangnya ada yang salah mbak? Atau bu? Atau Ses?” saya mencoba mencairkan suasana.
Kemudian, sepertinya dia merasa lega, dan tersenyum, “Biasanya orang kita kalau terbang suka bawa-bawa banyak barang. Terlalu banyak kadang. Mungkin biar banyak orang tahu, mereka pernah terbang naik pesawat?!”
Orang kita? Memangnya dia dari planet mana?
Tak ingin membuang banyak waktu, langsung saya sambar boarding pas dari tangan gadis menarik ini. Mungkin, dipikirnya saya ini seorang TKI?
Kalau iya? Memangnya kenapa?
TKI= saya, sepertinya tak ada bedanya?
Ya…, tak apa-apa.
Tapi jujur saja, saya masih bisa cari kerja di negeri tercinta ini!
Batam-Surabaya, Agustus 2005