SEPIRING mie goreng berlauk telor bulat itu dibiarkan dingin di rak paling pojok bersama segelas teh dan kopi yang sudah dingin. Satu rak dengan kaus kaki bekas pakai, jam weker model love yang kedua jarumnya mati di pukul 11.30, serta hair driyer yang kabelnya melingkar ke mana-mana. Tepat di bawah sepiring mie goreng yang sudah dingin itu, empat pasang sepatu Ellinda teronggok begitu saja. Sekasur tipis yang busanya sudah kempis nyaris tak bisa menahan tubuh sekurus apa pun orang, teronggok di sudut lain. Seprei aneka warna yang membungkus kasur, sama lusuhnya dengan kover bantal dan guling yang tiap malam menemani Ellinda tidur.
Kaleng cucian, panci, piring-piring kotor, koran-koran bekas, cakram-cakram CD aneka lagu, termos elektrik untuk memasak air; teronggok menjadi satu menambah ruwet ruang sebesar kira-kira 3X3 meter yang disewa Ellinda Rp400 ribu per bulan. Aneka kostum dan gaun yang kerap dipakai wanita kelahiran 7 Desember 1979 itu tersampir di seantero ruang. Panas yang nyaris mencapai 35 derajat celsius pada Selasa (10/5) malam itu, kian menambah sumpek ruang pribadi Ellinda. “Mohon maaf, kipas anginnya baru kecurian,” kata wanita yang punya nama panggung Ai Ling itu, sembari mengipas-ngipaskan potongan kardus sebesar buku tulis ke wajahnya. Mencoba mengusir udara sumuk Selasa malam itu.
Pembaca mungkin tak akan membayangkan, kehidupan sebenarnya Ellinda yang “memprihatinkan” itu, sangat berbeda ketika ia ber-hot dancer di atas panggung. Sejak awal Mei bulan ini, nyaris tiap hari kemolekan wanita kelahiran Surabaya itu bisa dinikmati di Pacific Diskotik, Jodoh. “Saya freelance di sana, sambil menunggu ada tawaran pekerjaan. Lagian, ngedance itu kan hobi saja. Tak dibayar. Hanya mengandalkan tips-tips yang saya terima dari tamu,” tambahnya.
Lahir dari keluarga besar keturunan Tionghoa, Ai Ling adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Mengaku sudah “metal” sejak remaja, siapa menyangka Ai Ling remaja doyan kebut-kebutan motor di jalan raya. Hobi trek-trekan inilah yang ia akui mengubah sebagian garis hidupnya. “Saat trek-trekan, saya sempat kecelakaan, gegar otak, hilang ingatan selama dua tahun,” imbuhnya. Ketika itu, ia masih duduk di bangku SMA kelas dua.
Kondisi “hilang ingatan” itulah yang kemudian membawa Ai Ling pada lingkungan permisif keluarganya. Kedua orangtua dan saudara-saudaranya seolah “memanjakan” dirinya dengan membiarkan apa pun yang dilakukan Ai Ling. Kondisi bebas ini kemudian diakui Ai Ling mendorongnya pada kehidupan diskotik di Surabaya. Begitu kesehatannya pulih, Ai Ling pun mengaku kian “metal”. “Saudara-saudara dan orangtua pikir saya ini gila. Jadi dibiarkan saja apa yang saya lakukan. Tak ada yang mau menasihati atau apa. Semua membolehkan. Padahal setelah hilang ingatan itu, saya merasa tambah pintar. Pelajaran sekolah memang tak bagus, tapi otak bisnis saya mulai jalan,” ungkapnya.
Jadi Sales Emas
Ketika itu tahun 1993. Ai Ling akhirnya memutuskan keluar dari sekolah, untuk kemudian menerjunkan diri sebagai sales emas. Dari seorang kenalannya yang juga sales emas, Ai Ling kemudian diterima di sebuah perusahaan produsen perhiasan emas yang pemasarannya terbentang seantero Jawa. “Sampai kini, saya paham betul mengenai emas. Berapa karatnya, sepuhan atau tidak, saya tahu semuanya,” ungkapnya.
Sebagai sales yang kerap pergi keluar kota hingga berhari-hari, Ai Ling mengaku “penyakitnya” bertandang ke diskotik kembali kambuh. Di setiap kali selesai nyales emas, ia manfaatkan waktu kosong untuk bertandang ke diskotik di kota-kota yang ia singgahi. Tapi, tak hanya mencari “heppy” Ai Ling ke sana, melainkan juga untuk menyalurkan hobi nari dan nyanyi, serta menjalin relasi dengan disk jockey (DJ) di mana ia menyinggahi diskotik.
Memang, sejak remaja, Ai Ling sudah sangat serius menekuni dunia tari. Bahkan ia menguasai betul kabaret, tarian asal Eropa yang dalam pementasannya biasa dipadukan dengan seni lainnya seperti musik dan komedi. “Kabaret lebih sulit daripada balet,” tegas Ai Ling. Ai Ling juga menguasai alat musik orgen dan pandai tarik suara.
Paduan keahlian sebagai penari, pemusik, dan penyanyi itulah yang kemudian membawanya menjadi penghibur. Memulia dunia entertainment saat coba-coba manggung sukarela di Diskotik Lucky Star di Surabaya, Ai Ling kemudian dianggap punya daya tarik bagus untuk kemudian dikontrak pihak diskotik. Sejak saat itu, dunia sales emas ditinggalkannya. Ia pyur terjun di dunia entertainment sebagai hot dancer, dan sekali-kali nimbrung sebagai DJ. “Kata kawan-kawan, tamu-tamu suka tarianku, jadi aku mulai suka naik panggung,” Ai Ling mengingat-ngingat awal dia mulai berani tampil sebagai penari.
Menikah dan Pisah
Tapi, dunia malam dikenal sebagai dunia penuh perangkap. Aktifitas Ai Ling di lingkungan malam, membawa dia pada pergaulan seks bebas yang pada akhirnya membuat ia hamil. Ai Ling menyerahkan cintanya pada seorang pria yang kerap datang ke diskotik menyaksikan tarian-tariannya. Tahun 1999, Ai Ling terpaksa harus meninggalkan dunia hiburan karena perutnya sudah tumbuh janin buah hatinya dengan sang kekasih. “Saya hamil delapan bulan, sebulan nikah sudah melahirkan,” bebernya tanpa malu-malu.
Suami Ai Ling – ia tak mau menyebutkan namanya – adalah pria dari keluarga kaya yang diharapkan Ai Ling bisa mencukupi kebutuhannya. Untuk itulah, setelah memutuskan menikah dan kemudian dikaruniai seorang putra, Ai Ling bermaksud menjadi ibu rumahtangga saja. Tapi, harapan itu tak terwujud. Suami Ai Ling begitu tergantung kepada kedua orangtuanya. Keadaan yang tidak disuka orang sebebas dia. “Lelaki itu kan, meski penghasilannya kecil harus kerja. Tapi suami saya tidak, mengandalkan bantuan orangtuanya saja. Saya nganggur, dia nganggur. Tiap hari dua-duanya cuma bengong. Bangun, ngopi, urus anak, duduk-duduk bengong. Begitu saja tiap hari,” ungkap Ai Ling dengan nada sedikit tinggi.
Pernikahan itu pun akhirnya kandas. Tahun 2001 keduanya berpisah namun tidak bercerai. Keyakinan keduanya, yakni Katolik, meralang dua orang yang sudah terikat dalam pernikahan bercerai. “Pisah begitu saja, sampai sekarang. Anak saya saya titipkan pada ibu,” tambah Ai Ling.
Setelah berpisah dengan suaminya, Ai Ling kembali menerjuni dunia entertainment. Kali ini lebih serius lagi. Wanita bertubuh semampai dengan rambut lurus ini kemudian bergabung dengan manajemen artis yang memungkinkan ia menghibur masyarakat keliling Nusantara. Ai Ling dikontrak untuk menyanyi sekaligus menari ke tempat-tempat hiburan di kota-kota besar di Indonesia. Dari situlah petualangannya dimulai. Kota-kota di pulau Bali, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Maluku, bahkan Papua ia kunjungi. Aneka kisah senang dan sedih kerap mendatanginya. Bahkan kisah tragis pun sempat ia temui. Ketika ia menghibur kota Tual, Maluku Tenggara, Ai Ling sempat dikejar-kejar pria mabuk hendak diparang. “Cuma masalah salah paham saja,” jawabnya ketika ditanya penyebab ia hendak dibunuh.
Bosan berkeliling Nusantara sebagai penyanyi dan penari, tahun 2005 Ai Ling mencoba peruntungannya dengan merantau ke Jakarta. Di Ibukota, ia mengawali kerjanya di tempat permainan biliar sebagai score girl. “Saya ke Jakarta karena ada tawaran akan dikirim ke Hongkong sebagai penghibur. Kerja di biliar itu untuk mengisi waktu saja,” tambah Ai Ling.
Tapi, tujuan utama untuk berangkat ke Hongkong justru tak kesampaian. Setelah dua bulan tak ada kejelasan, Ai Ling kemudian memutuskan lari dari penampungan. Dan, dengan modal keahliannya sebagai penghibur, Ai Ling kemudian dikenalkan pada dunia akting. Ai Ling ditawari sebagai figuran di sinetro Cinta Fitri dan Mas-Mas Kesepian. “Di Cinta Fitri saya main delapan episode. Di Mas-Mas Kesepian saya berperan sebagai anak kuliahan,” bebernya.
Dunia akting dan sinetron ternyata tak seindah yang dibayangkan banyak orang, termasuk Ai Ling. Kerjanya sebagai seorang figuran yang harus datang saat shooting mulai dari jam 9 pagi hingga jam 4 dinihari, tak sepadan dengan bayaran yang ia terima. Sehari, Ai Ling hanya digaji sebesar Rp75 ribu. “Memang, kerjanya tak terus akting. Banyak nunggunya. Nunggunya itu yang membikin bosan,” tambahnya.
Tanpa memperoleh apa-apa di Jakarta, pada tahun 2006 Ai Ling pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Di sini, dunia tari dan tarik suara mulai diakrabi kembali. Diskotik-diskotik pun kembali menjadi tempat ia mencari nafkah. Hingga perkenalannya pada seorang pria yang kemudian menjadi kekasihnya, berakhir pada tragedi. Ai Ling dianiaya hingga wajah mungil dan mulusnya luka parah. Perkara yang sempat membawa ia berurusan dengan polisi itu, memberi bekas selain sakit hati juga rusak di wajahnya. “Saya operasi wajah saya,” katanya.
Usai tragedi itu, Ai Ling kemudian memutuskan kembali ke Surabaya. Pada November 2010 lalu, ia kemudian tertarik mencoba peruntungannya ke Batam dan Tanjungpinang. Tiap malam sekitar pukul 10.00 WIB, dengan segenap dandanannya yang seksi, Ai Ling mewarnai malam-malam di Batam dengan tarian panasnya. “Saya bukan penari streaptease (penari telanjang). Saya hot dancer. Ada perbedaan di sini. Dalam hot dancer harus ada busana khusus. Itu yang membedakannya,” tegas Ai Ling.
Selasa malam itu, Ai Ling mengaku punya waktu yang cukup panjang karena tidak ada show. Sebagai freelance, ia bebas menentukan sendiri apakah mau menari atau tidak. Di sela-sela waktu luangnya, ia juga menyempatkan diri berdagang jamu-jamu tradisional khusus wanita, serta mencoba menciptakan lagu-lagu yang mungkin kelak akan melambungkan namanya. “Obsesi saya memang ingin menjadi artis terkenal. Saat ini saya sudah punya tiga lagu ciptaan sendiri,” tambahnya.*
Foto oleh Khafi Ansyari.
Tulisan ini Diterbitkan di Tabloid DIA edisi 16 Mei 2011.