Dia berdiri di sana. Tampaknya sudah lama menungguku. Disandarkan lekuk punggung indahnya pada batang akasia. Rerimbunan dedaunan, melindunginya. Kibaran jubah kelabu yang menelungkupi sekujur tubuh langsingnya, seakan-akan berteriak-teriak, meminta aku untuk mempercepat langkah.
Matanya nyalang: merah dan menenggelamkan. Namun tak ada gidik yang aku rasakan, ketika dari jarak sekitar limabelas meter, kami saling beradu pandang. Merah matanya, tapi meneduhkan. Sebagaimana larik cahaya senja.
Aku gegaskan langkah. Kerinduan yang melumuri seluruh tubuh, tak sanggup aku sembunyikan. 1462 hari silam, aku meninggalkanya dalam situasi serupa. Jubah biru muda yang ketika itu ia kenakan, juga berkibar-kibar dihujani angin pagi. Aku pergi dengan lunglai, ketika ia usai mengucap satu kalimat: maafkan saya, sepertinya Tuhan tidak menginginkan saya menjauhi-Nya!
Padahal, sepotong cinta sudah aku persembahkan padanya.
Setelah itu, 1460 hari lamanya, sehuruf pun, tidak ada kabar dari dia maupun aku untuknya. Hingga tibalah aku di negeri yang tak pernah mengenal malam. Aku pun melarut di dalamnya.
Dua hari silam, sebuah SMS tiba-tiba datang darinya. Menagih sisa potongan cinta dariku. ”Lho, bukankah yang sepotong dulu cukup besar untuk tidak terhabiskan? Seberapa pun sering kau memakainya!” kataku, ketika aku meneleponnya.
”Sampai sekarang pun belum kuhabiskan potongan itu. Aku biarkan membeku di dalam kulkas tiga pintu. Masalahnya, setiap kali aku buka untuk kusentuh-sentuh, rasanya sangat tidak mengenakkan jika hanya sepotong. Tidak utuh sebagaimana sebiji apel manalagi asli Malang. Kau masing menyukai apel Malang? Masih terus memupuk kerinduan atas Kota Malang? Yang selalu kau promosikan sebagai kota paling cantik di dunia?Atau, kini sudah beralih kepada durian-durian Bangkok yang, katanya, montok-montok?”
Aku mengikik. Dia pun ikut-ikutan. Aku berdehem…hem…, dia terdiam. Sepertinya tersadar, gurauannya telah menusuki hatiku.
”Maukah kau bertemu denganku? Sekejap pun jadi! Lupakan tentang potongan cinta yang masih kau simpan! Aku hanya ingin melihatmu! Membuktikan, apakah rambutmu masih dipenuhi abu ketombe? Apakah kau masih betah dengan boat tebal warna coklatmu? Ataukah kau sudah beralih menghisap Marlboro ketimbang Dji Sam Soe?”
”Aku masih menyimpan sket wajahmu saat kau merenung ketika dosen linguistik kita menjelaskan tentang Saussure! Di dompetku!” Aku curiga, kenapa tiba-tiba ia membelokkan arah pembicaraan. Dari sepotong cinta ke boat coklat yang masih setia menemaniku hingga kini.
“Berarti kau masih menyimpan potongan yang tersisa?” cerocosnya. Kecurigaanku terjawab. Dia datang, memang untuk menagih yang sepotong dulu. Sepotong yang sudah kuiris-iris menjadi puluhan lapis, dan kubagi-bagikan kepada setiap orang yang ingin mencicipinya. Seiris lagi yang masih tersisa, tentu saja tak ingin aku berikan siapa-siapa. Apa jadinya hidupku, tanpa potongan itu.
”Sudah membusuk!”
”Tak mungkin?!”
”Aku tidak punya kulkas tiga pintu untuk tempat menyimpannya. Kalau tak percaya, satu hari akan kubuktikan!”
”Bagaimana bisa, jika kita tidak bertemu?!”
”Tentu saja harus ketemu!”
”Di mana? Besok sore bisakah kau datang di tempat kita terakhir bertemu?”
”Hmm…, usai aku kerja! Kira-kira jam lima.”
”Baiklah. Jangan sampai terlambat ya!” Kemudian, bergegas, ditutupnya telepon.
*
Dia masih mematung di sana. Aku yang tiga jengkal dari hadapannya, kemudian menghentikan langkah. Menyapa dengan kelembutan yang aku bisa, ”udara pengap! Jalan raya macet! Dan, kakiku terkilir sewaktu berlari mengejar bis kota!” Aku mencoba meminta maaf soal keterlambatanku.
”Kau bawa sepotong yang tersisa?” Tanpa basa-basi, dia langsung menodongkan pertanyaan. Tentu saja aku belum siap ditodong dengan permintaan setajam itu.
”Kasih kesempatan aku, dong, untuk bernafas barang sejenak! Setelah itu, baru kau bisa membuktikan, apa yang aku katakan di telepon kemarin, benar adanya. Bahwa sepotong yang kau maksudkan itu sudah lama membusuk. Karena aku tidak memiliki kulkas tiga pintu seperti yang kau punya. Untuk menyimpan potongan itu.” Nafasku yang ngos-ngosan, setidaknya menjadi penanda, aku betul-betul kelelahan.
”Maafkan aku! Tapi aku betul-betul tidak punya waktu. Satu jam kau terlambat, dan itu telah membuat jadwalku malam nanti berantakan. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Tunjukkan kalau memang sepotong itu telah membusuk, dan aku akan segera pergi!”
Luar biasa perkasanya dia sekarang. Setidaknya, itu terlihat dari susunan kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Aku tidak menduga dia berubah menjadi seperkasa seperti ini. Tapi aku ingin membuktikan, apa yang aku katakan memang benar adanya. Cintaku membusuk bersama pilihannya dulu yang mengesankan. Membusuk seiring kibaran-kibaran jubah empat tahun silam yang memaksaku meninggalkannya.
Dan, irisan-irisan yang telah aku bagikan ke banyak orang yang ingin mencicipinya, adalah busuk semua.
Aku kemudian menyandarkan pantat di akar akasia yang menyembul tanah. Menarik nafas dalam-dalam barang beberapa hembus. Dia tetap mematung selayak yang pertama.
Kemudian, kulepaskan satu persatu kancing kemejaku. Dia memerhatikanku. Kusembulkan dadaku. Dia tetap melakukan hal yang sama. Dan, ketika kuminta ia untuk merobek dadaku, dengan segenap gerakan yang cekatan, dia melakukannya.
”Nah, benarkan apa yang aku katakan?!” tegasku, setelah jari-jari perkasanya menancap dan merobek dadaku. Kedua bola mata merahnya menyaksikan sepotong cinta busuk di dalam rongga dadaku. Aroma busuk merebak keluar dari rongga dadaku. Busuk sekali.
Mata merah legamnya memandang lekat-lekat potongan itu. Mencoba memastikannya barang sejenak. Berikutnya, dengan secepat yang ia bisa, ia berlari meningalkanku. Mungkin karena bau busuknya, atau memang sudah tak ada yang bisa diharapkan dariku. Dari sepotong cinta.
“Dasar wanita!” umpatku, ketika bayangannya sudah menghilang ditelan kegelapan senja. ”Sudah kubilang, masih tak percaya! Ya… terserahlah!!
28-6-2006