Nenek-nenek itu, dua orang yang tampaknya seusia, berhasil menghibur saya. Seorang yang tubuhnya menjangkung dan jalannya membungkuk dengan topangan tongkat alumunium, seorang lagi pendek gemuk setinggi tak lebih dari tongkat kawannya.
Saat saya menyusur koridor panjang Harbour Front dan belum hilang kedongkolan tersebab interogasi berlebih petugas imigrasi, kedua nenek itu justru asyik di depan etalase toko pakaian dalam. Sama-sama memerhatikan maniken berbalut celana dalam hijau muda dengan bh sewarna. Saya berhenti untuk menguping obrolan keduanya.
”Jangan hijau muda lah, aku rasa akan sangat cocok be ha dan ce de-nya warna gelap. Biar kontras dengan kulit tubuh kita,” si jangkung angkat bicara. Tangan kanannya yang memegang tongkat, bergemetaran.
”Cik, ini bukan jaman selayak kita dulu. Warna-wana gelap tak menarik mata sudah jauh ketinggalan jaman,” kilah nenek rekannya.
”Seandainya kita yang pakai?”
”Seandainya? Maksudmu?”
”Hmmm…,mungkin akan terliha seksi. Seperti iklan di tivi-tivi,”
Si nenek pendek tertawa terbahak. Tubuhnya berguncang-guncang. Terlebih itu perut yang sepenuhnya berisi timbunan lemak. ”Terus, dengan pakaian itu, kita berjemur di Pantai Sentosa.” Giliran tubuh si jangkung yang berguncang karena tawa. Tongkat alumuniumnya terantuk-antuk, mengeluarkan bunyi tuk…tuk…tuk.
Seorang bule wanita paruh baya, yang pantat mungilnya hanya berbalut jins sependek beberapa inci dari garis pantatnya, lewat di depan kedua nenek itu. Dengan langkah tergesa. Memberi senyum paling manis kepada keduanya, ketika hampir saja tubuh kurusnya menubruk si pendek gemuk. ”Sorry,” kata bule itu pendek.
Saya lirik jam pada HP saya. Masih pukul enam petang. Dengan demikian saya masih punya waktu kira-kira setengah jam lagi untuk menguping obrolan kedua nenek itu. Setengah tujuh nanti, saya harus bersegera ke Stasiun Outrum Park. Untuk selanjutnya bertemu dengan kekasih saya.
Sebenar-benarnya memang, obrolan kedua nenek itu menghibur diri saya. Setelah hampir setengah jam antri di pintu imigrasi. Terlebih, tadi, kedongkolan saya sempat memuncak ketika tiga kali berturut-turut petugas imigrasi bertanya, apakah foto di paspor saya? Benar foto itu adalah saya? Atau memang sebenar-benarnya foto saya? ” Bento…Bento…Bento…, sekali lagi asyik…” Jawab saya seraya menirukan bait tembang Bento-nya Iwan Fals.
”Bagaimana dengan yang satu di pojok sana? Sepertinya lebih sopan,” Si jangkung yang ubannya disamarkan dengan cat rambut memerah menunjuk ke maniken yang berdiri di pojok lain. Maniken dengan model wanita bule dengan balutan span bawah merah ngejereng dengan setelan atasnya mini t-short tanpa lengan. ”Cukup bisa menutupi lemak-lemakmu.”
Seketika saya membayangkan keduanya mengenakan pakaian itu. Sambil ongkang-ongkang di tepi pantai yang permai. Di bawah sebuah tenda, memerhatikan lalu lalang muda-mudi berbaju seksi sembari menikmati sebuah kelapa muda. Dan berkhayal, seandainya dunia tak pernah menjadi tua.
”Gemuk tapi seksi lebih baik dari kering kerontang seperti tacik!” Si pendek gemuk menimpali. ”Setidaknya jauh lebih menarik hati.”
Keduanya pun tertawa terbahak. Berkepanjangan. Sampai-sampai orang-orang yang lalu lalang di antara mereka terheran dibuatnya. Tentu saja sambil melempar senyum paling manis ke kedua nenek yang kira-kira sebaya itu. Saya pun melakukan hal yang sama, saat si jangkung berambut merah, melirik saya. Mungkin tersadar, sejak tadi saya memerhatikan mereka. Tapi si jangkung cemberut membalas senyum saya.
Seraya menarik pergelangan kanan kawannya, si jangkung bersegera mengajak si gemuk pendek berlalu dari depan toko pakaian dalam. Atau mungkin menjauh dari saya yang sedari tadi berdiri dua-tiga meter dari keduanya. Sebentar si pendek berusaha meronta menolak ajakan si jangkung. Tapi ketika sebuah isyarat kedipan mata dari rekannya, ia pun kemudian menurut saja.
Tuk…tuk..tuk.., suara ketukan tongkat alumunium pada lantai marmer mahal, ketika keduanya menjauh. Namun, kira-kira sepuluh langkah dari tempat semula, keduanya berhenti lagi. Di sebuah toko pakaian olahraga. Yang lagi-lagi, di etalasenya, terpajang maniken model wanita bule dengan balutan baju renang.
Sekilat, saya bertanya dalam hati. Maniken itu kenapa selalu bermodel orang-orang bule? Bukan semodel Tionghoa atau Melayu, bahkan mungkin Austronesia? Ah, mungkin kita terlalu tidak pede dengan hidung pesek anugerah Illahi ini. Atau standar umumnya memang sudah ditetapkan demikian.
Kali ini saya memilih untuk tidak menguping obrolan mereka.
Batam-Singapura, Minggu kedua November.