SAYA suka bagaimana orang-orang bule mempertahankan budaya mereka bersepeda pancal. Sebagai alat transportasi sehari-hari semasa mereka tinggal di Singapura. Itu seperti “seteguk air dingin” di tenggorokan yang kehausan oleh nafsu berkendara motor. Di Singapura yang kian hari, saya rasakan kian macet dan pengendaranya kian tak punya adab.
Kendaraan di Singapura memang tidak bertambah secara massif. Itu karena kebijakan pembatasan kendaraan bermotor yang sangat ketat. Bahkan dari tahun 2018 hingga 2028, pemerintah menerapkan “zero vehicle growth rate”, yang artinya, tidak ada penambahan kendaraan bermotor di 10 tahun itu. Satu mobil baru terjual, harus ada satu mobil yang diskrap.
Tapi kenapa bisa semakin macet?
Itu karena semua pemilik kendaraan bermotor, kini, SUKA berbondong-bondong memakai mobil di waktu yang sama. Ke mana-mana. Beli makan ke pasar saja, sekarang naik mobil. Ngantor, pada berbondong-bondong pamer mobil. Terutama masyarakat berumur 20 – 40an tahun yang sudah bekerja, tak punya tanggungan, dan mampu mengkredit mobil.
Sekarang juga, saya sulit menemukan mobil-mobil pribadi berpelat merah. Plat merah berarti, mobil-mobil itu hanya bisa beroperasi pada akhir pekan atau liburan. Mobil dengan pajak lebih murah. Kemampuan finansial yang bagus, membuat orang Singapura boros pengeluaran dan kian hidup hedon. Hedonistik itu salah satunya ditunjukkan lewat “wang…weng…” memakai kendaraan bermotor seenak udel mereka.
10an tahun silam, semua ini tidak terjadi. Tidak terbayangkan oleh saya yang sudah sejak 2002 mengakrabi Singapura.
“Thirds county peoples at first country”, begitu saya sering membaca istilah untuk menyebut orang-orang yang tiba-tiba hidup hedon setelah punya uang, dan melupakan latar-belakangnya secara radikal. Masyarakat Singapura, secara umum memang tak sip-sip amat. Sifat khas orang Asia, yakni suka pamer – meski sudah berpendidikan tinggi dan cukup lama hidup makmur – masih melekat erat di mereka. Meski, tak separah sifat pamernya orang kaya di Indonesia.
Untungnya saya masih sering menikmati “seteguk air dingin” yang ditunjukkan keluarga-keluarga bule yang tinggal di Singapura. Dengan kepantasan di segala bidang yang terukur, mereka bisa menjadi contoh bagaimana bersikap seperti orang di negara maju.
Soal transportasi misalnya, budaya bersepeda orang bule (Erapa), masih mereka pertahankan ketika tinggal di Singapura. Bukan karena mereka ndak mampu beli mobil. Mengingat, rata-rata bule yang tinggal di Singapura, punya kerja bagus, juga mendapat fasilitas bagus dari perusahaan, termasuk mobil dan rumah. Tapi, saya memperhatikan, banyak di antara mereka yang lebih memilih gaya hidup praktis sehari-hari. Di antaranya memakai sepeda pancal, naik transportasi umum ke tempat kerja, atau tidak memakai pembantu rumahtangga. Saya sering melihat keluarga bule-bule di daerah East Coast atau Orchard -dua daerah elite di Singapura – misalnya, “ngemong” anak-anak mereka sendiri. Atau emak-emak bersama balitanya, belanja segunung barang, dengan bersepeda pancal.
Ibu kawan les bahasa China Zak, anak bungsu saya, yang kebetulan orang Australia, bahkan memodifikasi sepeda pancalnya agar bisa membonceng tiga anaknya sekaligus.
Bagi saya, itu keren. Fenomena ini bisa memberi pelajaran bagi orang-orang Singapura, juga yang membaca tulisan ini, bahwa menjadi “first class people” tidak harus pamer-pameran kekayaan! Tidak harus pamer-pamer gengsi! Menjadi “first class people” tidak harus tinggal di negara maju! Tidak harus lulus universitas tenar! Tidak harus kaya raya dan punya jabatan! “First class people” adalah mereka yang hidup dengan PENUH KEPANTASAN.
(*)