TANGGAL 9 Agustus 2025, Singapura berulang tahun. Ke 60. Untuk sebuah negara, 60 tahun masih terbilang muda. Apalagi jika mengingat, di dekade 80-an, masih banyak warganya yang berak di jambang tanah yang cuma dilubangi begitu saja.
Apa resep Singapura bisa semaju sekarang? Bisa menjadi negara kaya! Bisa menjadi negara paling aman se-Dunia! Negeri tempatuniversitas-universitas top, perusahaan-perusahaan top di Asia, bahkan Dunia? Padahal secara sumber daya alam, mereka tak punya apa-apa. Bahkan, ketika berpisah dengan Malaysia, Lee Kuan Yew sampai harus menangis, karena tak tahu bagaimana mencari duit untuk kelangsungan hidup Singapura kala itu.
Persinggungan saya dengan Singapura selama lebih dari 20 tahun (14 tahun terakhir tinggal di Singapura), membuka mata, ternyata modal TERBESAR sebuah negara bisa maju adalah MANUSIA-nya! Bukan kekayaan alam! Bukan letak strategis! Bukan sejarah masa lalu! Ya, manusia memegang peran utama kenapa sebuah negara bisa maju, atau justru sebaliknya.
Saya mencatat, ada sejumlah KARAKTER UNIK di masyarakat Singapura, yang saya anggap sebagai kunci keberhasilan mereka membentuk negara mereka menjadi seperti sekarang ini. Karakter khas yang tidak dimilik oleh rakyat dariu negara-negara lainnya. Karakter, yang mungkin bisa kita tiru, kita contoh, sebagai MODAL untuk membangun Indonesia lebih baik lagi. Catatan saya ini mungkin bisa diperdebatkan, karena pendekatan yang saya lakukan adalah “terjun langsung” di masyarakat Singapura, hidup bersama, dan berusaha mengamati dengan seksama. Tidak didasarkan pada kompetensi ilmu atau sebangsanya. Semoga bermanfaat.
Ini delapan karakter itu:
- Harga diri melebihi harga uang.
Contoh paling gampang dari penjelasan karakter ini ada di depan mata. Jika Anda berkunjung ke Singapura, Anda dengan mudah akan menemukan orangtua-orangtua yang masih bekerja. Sebagai satpam, sebagai petugas kebersihan, sebagai pelayan restoran, menjaga toko, dls. Salah satu alasan atas fenomena “lansia bekerja” ini adalah soal harga diri itu. Di Singapura, orangtua pantang menerima duit dari anak-anak mereka, selagi masih bisa mencari sendiri. Harga diri mereka terlalu tinggi untuk sekedar minta-minta. Karakter ini, telah mendarah-daging, membentuk etos kerja serta model masyarakat yang anti “menengadahkan tangan”. Orang-orang Singapura, misalnya, merasa lebih mulia bekerja sebagai tukang cuci piring, ketimbang BERHARAP dapat HARTA WARISAN atau menjadi pemuka agama yang hidup dari pemberian masyarakat. Jejak-jejak karakter ini, di jaman internet sekarang misalnya, bisa Anda lihat dengan SEDIKITNYA orang Singapura yang jadi konten kreator, atau ngemis subcriber/like, dan lebih memilih bekerja di bidang yang lebih pasti. Karakter ini, menurut saya, sangat bertanggungjawab untuk menghindarkan Singapura terjebak sebagai masyarakat “pemimpi”. Mimpi, misalnya berharap datangnya “ratu adil”. Karena mereka tahu, “ratu adil” tidak datang begitu saja. “Ratu adil” harus diciptakan oleh mereka sendiri. - Mengutamakan Pendidikan.
Di masa muda, ibu mertua saya adalah ibu rumahtangga yang nyambi buruh kupas bawang dan menyetrika untuk mendapatkan uang belanja tambahan. Mereka dari kalangan keluarga miskin. Tapi, tiga dari empat anaknya semua sarjana. Anak pertama, perempuan, kapten di angkatan laut. Anak kedua, istri saya, seorang guru senior. Anak terakhir, bekerja di universtas. Hanya anak ketiga, laki-laki, yang tidak menamatkan SMP karena nakal, bekerja sebagai buruh pabrik. Buruh pabrik tidak buruk memang, tapi dibandingkan dengan ketiga saudaranya, dia yang paling tidak beruntung.
Dari situasi keluarga kami ini, kita bisa membayangkan, bagaimana pendidikan di Singapura berperan sangat penting bagi kesuksesan masa depan seseorang. Fakta ini kemudian membentuk masyarakat Singapura untuk mengutamakan pendidikan di atas kepentingan lainnya. Mereka tidak akan mau membeli kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti mobil misalnya, jika pendidikan anak-anak mereka belum diberesi. Mereka lebih suka menghabiskan duit ratusan dolar per bulan untuk les pelajaran ini-itu, ketimbang membayar angsuran mobil.
Negara pun, kemudian mendesain pendidikan untuk bisa diakses siapa saja. Bisa diakses si miskin maupun si kaya. Bisa diakses si bodoh maupun si pinter. Di Singapura, Anda hanya butuh MAU dan KERJA KERAS untuk bisa sekolah setinggi yang Anda bisa. Negara telah menyediakan banyak cara untuk orang-orang yang MAU dan BEKERJA keras untuk menjadi pintar itu.
- Rasa solidaritas yang tinggi.
Karakter ini mungkin seperti “anti-tesis” dari anggapan banyak orang yang menyebut orang Singapura individualistik. Memang secara umum, orang Singapura enggan membuat hubungan perkawanan yang terlalu intim. Saya menyebutnya, hubungan mereka biasanya sekedar “asal kenal” saja. Tapi di luar itu, saya melihat orang Singapura punya rasa solidaritas yang sangat tinggi di antara mereka. Mereka kerap berbondong-bondong menjadi sukarelawan di kegiatan apa saja, termasuk kegiatan kemanusiaan, atau sekedar kegiatan pemerintah yang dianggap bermanfaat. Ingat ya, SUKARELAWAN! Bukan pasukan nasi bungkus! Orang Singapura juga mudah “mengulurkan bantuan” pada masyarakat yang membutuhkan. Di lingkungan terkecil, mereka juga senang membangun kelompok-kelompok kecil untuk berkegiatan dan beraktivitas bersama. Seperti kelompok senam, kelompok jalan kaki, atau kelompok berkebun. Karakter ini mungkin datang karena latarbelakang masyarakat Singapura yang sebagian besar perantau. - Susah dulu, senang belakangan.
Masyarakat Singapura tidak mengenal “jalan pintas”. Mereka menyadari, sehebat apa pun background orangtua, background itu tidak berarti apa-apa jika ia tidak bekerja keras, tidak sekolah yang serius, atau membuktikan bahwa ia bisa. Setiap orang Singapura sadar, untuk bisa senang, mereka harus bersusah-susah dulu. Tidak ada budaya nepotisme di sini, lebih-lebih memaksa mengubah undang-undang agar anaknya yang belum cukup umur bisa jadi wakil presiden. Soalnya di Singapura, tidak ada jabatan wakil presiden, hehehe. Yang ada wakil perdana menteri, dan itu pun orang yang menjabat harus orang hebat. Tidak plonga-plongo macam wapres kita. - Suka menabung dan tidak show-off.
Salah satu tabungan legend itu namanya CPF (tentang CPF ini, bisa dibaca di sini https://batamseksi.blogspot.com/2023/10/cara-masyarakat-singapura-merencanakan.html?q=cpf ). Ini tabungan wajib, yang setiap warga Singapura yang bekerja, gaji mereka dipotong (rata-rata 20 persen), kemudian disimpan di akun negera, dan hanya bisa diambil untuk beli rumah, biaya pendidikan, atau usia setelah 65 tahun. Tabungan ini juga difungsikan sebagai uang pensiun. Negara juga bisa “meminjam” tabungan ini untuk modal pembangunan. Untuk modal mendirikan BUMN, yang keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat. Bukan dibagi-bagikan ke komisaris-komisaris pendukung penguasa. Doktrin pemerintah untuk gemar (baca: memaksa) menabung ini, bisa jadi membuat masyarakat Singapura terbiasa untuk menabung.
Selain suka menabung, mereka juga tidak suka show-off apa yang mereka punya. Mereka cenderung memperlihatkan gaya hidup sederhana, meskipun kaya raya. Sehari-hari, mereka terbiasa naik angkutan umum, meski punya mobil mewah di rumah. Mereka terbiasa makan di pujasera murah, memakai pakain murah. Meski jika diperlukan, mereka tiba-tiba bisa tampil mewah.
- Kuat di perencanaan.
Salah satu karakter penting orang Singapura adalah mereka kuat di perencanaan. Merencanakan apa saja. Dengan detil dan presisi. Saya misalnya, jika ingin bepergian ke mana saja, saya biarkan istri yang membuat rencana dan menyiapkan segala kebutuhan dalam perjalanan. Saya tahu, jika ia yang membuat rencana, semuanya akan berjalan dengan lancar, tak lupa satupun barang atau sesuatu yang kami perlukan. Jika saya yang merencanakan? Biasanya bubrah. Hehe. - Religius.
Karakter ini mungkin mengejutkan Anda! Tapi benar, orang Singapura, terlepas dari apa pun agama mereka, rata-rata sangat religius. Kuil-kuil selalu penuh. Masjid-masjid penuh. Gereja-gereja aktif. - Kiasu.
Yang terakhir ini, yang jelas, saya tak perlu menjelaskan lagi.
Keterangan foto: seorang warga Singapura di Chinatown, berpenampilan sehari-hari yang simple dan sederhana, membawa rantang untuk membeli makanan. Foto diambil pada 9 September 2024.
.