: Mahalnya nonton bola di Singapura
Jumat hampir tengah malam itu, saya enggan meneruskan tontonan sepakbola siaran tunda di channel televisi Okto, Singapura. Laga pembuka Piala Dunia 2014 antara Brazil versus Kroasia. Selain karena sehari sebelumnya sudah menonton laga itu, dan hasil akhirnya sudah ketahuan; malam itu saya berpikir untuk menyimpan tenaga. Sebagai bekal menyaksikan pertandingan besar Sabtu dinihari itu, Belanda versus Spanyol. Belum setengah permainan siaran ulang antara Brazil versus Kroasia, saya sudah mematikan televisi, memasang weker, dan bersiap-siap untuk tidur.
Sebagai penikmat bola, Piala Dunia 2014 adalah pesta terbaik yang harus dinikmati dengan sebaik mungkin. Bagi saya, kedatangannya Piala Dunia kali ini juga pas dengan momen bakal diselenggarakannya pemilihan presiden Indonesia, awal Juli mendatang. Bagaimana tidak ngepas, nyaris tiga bulan terakhir ini, televisi di Indonesia, juga media-media lainnya, berlomba-lomba untuk “mendukung” salah satu capres dengan menyajikan berbagai settingan kampanye yang menjurus ke fitnah. Di media sosial seperti Facebook, kampanye hitam dan saling hujat menghujat terbaca nyaris setiap menit. Dalam hal fitnah menfitnah, sepanjang usia saya yang hampir berkepala empat ini, tidak pernah situasi pemilihan presiden di Indonesia seburuk seperti saat ini. Siapa yang benar, siapa yang salah, semuanya terkubur oleh rumor yang entah, siapa penciptanya.
Kemudian datanglah Piala Dunia 2014 di Brazil. Sebagai penggila bola, hati saya lega. Selain disajikan tontonan menarik aksi-aksi pemain bola sejagat, setidaknya setelah Piala Dunia digelar, di Facebook saya, posting kawan-kawan soal capres-capresan mulai berkurang. Saling menjelek-jelekkan antar-capres mulai sedikit mereda. Diganti dengan guyon-guyonan atau sekedar tebak skor laga-laga Piala Dunia. Alhamdulillah…, dari Brazil, Indonesia tersiram kebaikan yang menyejukkan.
Tapi masalah bagi saya, kini saya tinggal di Singapura.
Sabtu dinihari itu, begitu jam weker yang saya setting di angka tiga dinihari berdering, saya terbangun. Cukup malas bangkit, mengingat sebelumnya saya sempat menelan dua butir Panadol untuk meredakan serangan flu yang dua hari ini mengganggu saya. Sakit di persendian tulang masih belum hilang benar. Tapi karena pertandingannya adalah dua tim favorit saya, Belanda versus Spanyol, mau tak mau saya bangun juga. Sebelumnya, saya juga sudah melewatkan laga antara Meksiko versus Kamerun.
Upss…, begitu televisi saya hidupkan, saya baru sadar, tak ada channel televisi di Singapura yang menyiarkan laga Piala Dunia. Pertandingan pembuka antara Brazil versus Kroasia yang disiarkan langsung oleh televisi Channel 5 kemarin, adalah sekedar “bonus”, dan tidak ada lagi siaran gratisan di channel televisi yang bisa ditangkap di rumah. Channel 5 masih akan memberikan satu lagi “bonus” kepada pemirsanya, yakni final Piala Dunia sebulan mendatang. Alhasil, saya terpaksa gigit jari melewatkan sebagian besar pertandingan Piala Dunia.
***
Berbahagialah pecinta bola di Indonesia. Bahwa untuk sekedar menonton pesta paling akbar sejagat ini, mereka hanya butuh televisi, listrik, antena sekedarnya, dan mungkin camilan serta secangkir kopi sebagai teman menonton laga. Tapi di Singapura berbeda. Piala Dunia edisi kali ini, perusahaan telekomunikasi dan jasa jaringan televisi kabel Singtel lah pemegang hak siarnya. Sementara, di rumah saya, kami sebelumnya memilih Starhub, seteru utama Singtel.
Jika saya ingin bisa menonton laga-laga Piala Dunia di rumah, saya harus membeli salurannya, seharga 112 dolar, khusus untuk beberapa channel yang khusus menyiarkan acara Piala Dunia. Busyet dah, kalau Jumat malam kemarin saya narik uang dari ATM OCBC NISP kena kurs Rp9.535 per dolar, selama sebulan saya menonton sepakbola di rumah, saya harus bayar sebesar Rp1.067.920. Ditambah iuran bulanan Starhub sebesar 120 dolar, jika bulan ini saya memutuskan registrasi membeli channel siaran khusus sepakbola dari Singtel, saya bisa kena tagihan sebesar 232 dolar. Mahal untuk saya, dan saya memutuskan untuk tidak membeli.
Singtel adalah satu-satunya perusahaan yang kali ini memenangkan tender sebagai penyiar pertandingan Piala Dunia. Jadi, tidak ada alternatif lain bagi warga Singapura, untuk menonton Piala Dunia di rumah dengan televisi lain. Di Singapura, tidak ada tivi-tivi kabel ilegal yang marak seperti di Batam. Yang pelanggannya bisa minta sesuka mereka channel apa saja yang bisa dinikmati di rumah mereka. Yang saking maraknya, tivi-tivi ilegal itu terasa sudah legal, dan memang pemiliknya justru pejabat-pejabat maupun aparat “legal”. Televisi-televisi umum di Singapura juga terlalu “pelit” untuk membeli hak siar Piala Dunia, dan menyiarkan secara gratis kepada pemirsanya.
Ada sih, alternatif terakhir yang bisa dipilih warga Singapura agar tidak membayar 112 dolar guna menikmati Piala Dunia. Yakni datang ke Mc. Donald. Restoran cepat saji asal Amerika Serikat ini memang menjadi sponsor Piala Dunia dan berhak menyiarkan semua laga Piala Dunia 2014. Selama ini, saya juga kerap memanfaatkan Mc.Donald untuk menonton siaran-siaran langsung Liga Inggris, liga yang juga disponsori oleh restoran ini. Dari Pemerintah Singapura, Communiti Center (baca: balai pertemuan warga) di kompleks-kompleks pemukiman warga juga menggelar acara nonton bersama.
Berbahagialah pecinta bola di Indonesia, yang bisa menikmati Piala Dunia di rumah tanpa perlu mengeluarkan banyak uang. Bergembiralah menyambut Piala Dunia! Jangan lupa, selalu sediakan kopi, camilan, dan jangan lupa menjaga tubuh agar tidak kelelahan menonton bola. Mari, lupakan sejenak kampanye-kampanye hitam seputar pemilihan presiden mendatang, dan ikutlah berpesta bersama dunia. Di Piala Dunia 2014.