Sultan Yohana
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
Sultan Yohana
No Result
View All Result
Home Catatan Lepas

Kenapa (Saya) Menjadi NU?

Sultan Yohana by Sultan Yohana
February 15, 2023
in Catatan Lepas
0
Kenapa (Saya) Menjadi NU?
0
SHARES
2
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Buku tipis warna hijau bergambar lambang Nahdlo(a)tul Ulama itu adalah buku favorit saya. Saat belajar di SD Almaarif 2, Singosari, Malang.

Gairah membaca yang, entah, timbul dari mana, sedikit terlampiaskan manakala membuka buku itu. Buku warisan kakak, Irma, yang juga sekolah di tempat yang sama. Saya menyukainya, mungkin karena isinya yang enak dibaca. Berisi sejarah berdirinya NU, juga tokoh-tokohnya.

Di jaman itu, memang, perpustakaan sekolah sangat minim mengoleksi buku-buku yang enak dibaca. Saya selalu kecewa manakala pegi ke perpustakaan SD, dan mendapati koleksinya yang kebanyakan didominasi buku-buku agama yang rigid. Paling, perpustakaan sekolah hanya punya koleksi serial Lima Sekawan, dan itupun semuanya sudah saya baca.

Sejak kelas lima, di SD ada pelajaran ke-NU-an. Itu mungkin karena sekolah kami, ada di bawah naungan yayasan pendidikan NU. Ketua yayasannya pernah dijabat oleh KH Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama era Gus Dur itu.

Setiap murid, saat pelajaran ke-NU-an, wajib membawa buku hijau itu. Saya mmenyukai buku itu, mungkin juga karena faktor Bu Mufidah. Guru pengajar ke-NU-an yang penyabar, dan bisa mengisahkan sejarah NU dengan menyenangkan.

Maka, jadilah saya NU sejak SD. Ini seperti takdir yang tak bisa diubah. Sebagaimana takdir saya menjadi Muslim, menjadi orang Jawa, menjadi Indonesia. Walau seumur hidup, saya bahkan tak pernah mengunjungi kantor NU kecamatan, apalagi menjadi anggota resmi, dan mengantongi kartu anggota.

Pernah sekali saya ikut rapat IPPNU (ikatan pelajar di NU) di rumah seorang anggota senior karena diajak seorang kawan yang telah menjadi anggota. Tapi, sekali saja, setelah itu ogah. Saya memang tidak menyukai kegiatan berorganisasi. Ndak bisa bebas merdeka!

Tapi memang, untuk masyarakat jelata seperti saya, menjadi NU itu tidak PEDULI apakah terdaftar atau tidak. Tidak peduli apakah punya kartu anggota atau tidak. Yang penting “nderek kyai”, mengikuti kyai. Meneladani para ulama. Dalam hal ini, MENJADI NU, tentu saja meneladani kyai-kyai di lingkungan NU atau mereka yang “senafas” dengan NU.

Nahdlotul Ulama – saya lebih suka memakai huruf O sebagai pengganti huruf dhot – memang organisasinya para kyai. Dari segi bahasa saja, frasa “Nahdlotul Ulama” bisa diartikan sebagai “kebangkitan para ulama”. Bukan kebangkitan umat! Bukan kebangkitan rakyat jelata seperti saya! Bukan kebangkitan para tani! Buruh! Apalagi politikus! Karena kebangkitan para ulama, maka di organisasi NU, tentu saja isinya para kyai. Kyai-kyai kampung. Atau setidaknya anak-anak kyai. Juga orang-orang yang telah “dikyaikan/diustadkan” oleh masyarakat sekitar. Bukan diustadkan oleh sosial media, apalagi oleh media massa dan acara pencarian ustad di tivi-tivi.
Pertanyaan berikutnya;

“kenapa harus mengikuti para ulama? Kenapa harus mengikuti kyai-kyai kampung yang dianggap kampungan itu?”

Saya masih menangi – menjadi saksi – kyai-kyai NU yang memang patut menjadi suri tauladan di kampung saya, di kota saya. Kyai, di kampung, itu statusnya jauh melebihi kepala desa atau pak lurah (yang dipilih negara) sekalipun. Jauh melebihi anggota DPR! Seumur hidup, saya dan orang-orang jelata seperti saya, tak mengenal – atau mungkin tak peduli – siapa lurah di kampung saya. Tapi, itu tidak berlaku pada kyai. Kami harus mengenali, menghormati, sekaligus mengagumi para kyai kami.

Itu karena kyai TIDAK HANYA berperan sebagai “orang yang punya pengetahuan lebih soal agama”. Kyai, di masa itu, adalah mereka yang ilmu agamanya mumpuni, dan kuat bertirakat. Kyai, di masa itu, adalah tempat bagi siapa saja anggota masyarat, datang membawa masalah mereka. Minta bantuan doa. Minta nasihat masalah keluarga. Meminjam duit. Mencarikan jodoh. Memimpin tahlilan. Menguburkan orang mati. Dls.

Kyai, di masa itu, adalah orang yang menerima dengan tangan terbuka dan senyum lebar siapa saja yang datang padanya. Pada wong cilik maupun wong besar. Pada para mursal maupun mereka yang gemar beramal. Kyai, di jaman itu, adalah orang-orang yang penuh wibawa dan anggun saat berceramah di mimbar Jum’at; untuk kemudian setelah itu, mengganti jubahnya dengan celana kotor panjang tigaperempat dan pergi mencangkul sawah mereka.

Kyai di jaman itu, adalah orang yang begitu ketat menjalankan aturan agama pada DIRI MEREKA SENDIRI dan keluarganya, namun di saat bersamaan, sangat fleksibel dan arif pada masyarakat yang memang berbeda-beda pemahaman agama mereka.

Kyai, di era itu, adalah mereka yang selalu bicara kromo inggil, pada siapa pun lawan bicaranya. Itu kenapa, Gus Dur, dalam banyak tulisannya di kolom media massa era 80an, gemar mengangkat kisah hidup kyai-kyai kampung, yang memang harusnya mendapat tempat istimewa di tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.

Kebangkitan para kyai, sebagaimana niatan NU didirikan, tidak lain dan tidak bukan untuk kemaslahatan masyarakat. Bukan menjadi tujuan kepentingan kyai itu sendiri. NU bukan tempat orang mencari hidup, apalagi memanfaatkannya untuk kepentingan politik. Kyai adalah instrumen utama dalam NU, yang mendesain diri untuk terus menjaga umat, serta ikut serta memecahkan setiap persoalan yang ada.

Bulan lalu, ketika berjumpa dengan seorang kawan di Singapura, tiba-tiba ia bertanya “apakah (gaya dan pemahaman) Gus Dur itu representasi dari NU itu sendiri?” Ia bertanya demikian, mungkin karena tahu saya orang NU. Saya jawab sebisa mungkin.

Di NU, sepengetahuan saya, ada begitu banyak gaya dan karakter kyai yang berbeda. Ada kyai NU yang keras dan fundamental, tak sedikit pula yang ramah dan bisa mengakomodasi apa saja. Ada kyai yang mengharamkan diri mereka dan keluarga menjadi PNS (karena mereka menganggap sumber gaji PNS ada yang subhat), tapi juga banyak kyai yang liberal.

Perbedaan karakter kyai di lingkungan NU, tidak pernah menjadi persoalan, karena satu di antara mereka tetap menjaga sopan santun dan akhlak yang baik. Perbedaan itu, justru menjadi berkah bagi masyarakat, agar mempunyai banyak pilihan meneladani seseorang, sesuai tingkat pemahaman mereka.

Segenap rasa dan pengalaman yang saya alami inilah, yang menjadikan saya tetap menjadi NU. Mencintai NU. Menjadikan NU sebagai kultur kehidupan saya. Meski, KINI, tentu saja, dengan begitu banyaknya orang-orang yang menganggap diri mereka “kyai”, saya harus terus bisa menyeleksi, mana kyai-kyai yang bisa saya teladani, mana yang tidak.

Saya harus terus meneladani para kyai, karena miskinnya ilmu dan pemahaman saya pada apa saja.

Seabad sudah NU men-ada. Apa pun kontribusi kita, tetaplah menjaganya.
Catatan: foto buku pelajaran ke-NU-an semasa saja SD.

Sultan Yohana

Sultan Yohana

Related Posts

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme
Catatan Lepas

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

May 26, 2025
Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?
Singapura

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

May 19, 2025
Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju
Catatan Lepas

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

May 13, 2025
Next Post
Obat Awet Muda

Obat Awet Muda

Kenapa Barca tidak Lagi Butuh Messi?

Kenapa Barca tidak Lagi Butuh Messi?

Terjerumus Rombengan!

Terjerumus Rombengan!

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Me

Rekomendasi

Kisah Sebuah Sepeda Pancal

Kisah Sebuah Sepeda Pancal

1 year ago
“Mukidi” & Umpatan yang Menyenangkan

“Mukidi” & Umpatan yang Menyenangkan

9 years ago
In-Depth yang Berbayar, Lugas yang Gratis

In-Depth yang Berbayar, Lugas yang Gratis

2 years ago
“Lima Lelaki Tua di Warung Kopi Tua”

“Lima Lelaki Tua di Warung Kopi Tua”

2 years ago

Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.

Kategori

  • Batam
  • Bolaisme
  • Catatan Bola
  • Catatan Lepas
  • Catatan Publik
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
  • Humaniora
  • Indonesiaku
  • Jurnalisme
  • Kultur
  • Ngalor Ngidul
  • Politisasi
  • Review
  • Sastra
  • Singapura
  • Tentang Aku
  • Video

Topics

Abdul Gofur Air minum Alas kaki Batam Bule Catatan Cerita Dollar Efisiensi Ekor panjang Fasilitas Foto Gadis China Gaji Honor Humaniora Indonesia Jatim Johor Karyawan Kedai Kucing Kurs Mahal Malang Malaysia Masjid Menteri Monyet Mudik Pengemis Photo Premanisme rasa singapura Rezeki Rupiah Sejarah Sepakbola Sepeda Singapore Singapura Taipei Taiwan Tanjungpinang Warung
No Result
View All Result

Highlights

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Kucing-kucing Mudik

Pintarnya Johor Mendulang Untung dari Singapura

Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki

“Seteguk Air Dingin”: dari budaya baik bule di Singapura

Trending

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme
Catatan Lepas

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

by Sultan Yohana
May 26, 2025
0

SAYA membaca laporan Majalah Tempo pekan ini, "Oke Gas, Hercules". Tentang premanisme, terutama tentang sepakterjang Herkules dengan...

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

May 19, 2025
Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

May 13, 2025
Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

May 3, 2025
Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

April 20, 2025
Sultan Yohana

© 2023 Sultan Yohana

Kunjungi Juga

  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Kontak

Ikuti Saya

No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek

© 2023 Sultan Yohana