”Secara tekstual,
perempuan, bisa berarti payudara yang
diperem…,
diremas-remas gitu,”
Dan, meledaklah tawa seisi kelas, terutama mahasiswa laki-laki. Aku? Tentunya ikut juga. Sedangkan yang merasa, para perempuan, sebagian muka mereka memerah. Entah karena amarah? Aku tak tahu?
Dosen morfologi kami, waktu itu, hanya bisa bengong. Tubuh jangkung, kepala semi botak, dan kilap wajah berlemaknya, tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Reaksi yang kami berikan, heboh, mungkin menjadikannya demikian? Atau, justru ia menilainya sebagai sebuah keluguan yang kami sodorkan. Keluguan mahasiswa-mahasiswa bahasa sastra Indonesia.
Dan, ini memang berbicara tentang bahasa!
Enam tahun berlalu. Dan sekarang, seribu kilometer dari tempat di mana dosen bahasaku pernah berkata begitu, terkuaklah sedikit jawaban, kenapa dulu, kami tiba-tiba tergelak.
***
Seorang perempuan mendekati kami. Pada tampan hitam berlogo sebuah minuman beralkohol, dua botol bir ukuran besar. Plus dua gelas kosong dan sebaskom es batu. Semuanya kemudian disodorkan ke depan kami. Gerakannya, perempuan itu, begitu luwes. Berikutnya, dengan gincu ungu membiru, ia tersenyum padaku, membelok pada rekanku, juga pada botol bir-bir itu, pada ratusan pengunjung antero bar, pada malam yang lembab dan brengsek, dan mungkin, pada nasibnya, yang kelam.
Tubuh langsingnya, kemudian, disandarkan pada bibir meja. Separo pantatnya tertarik ke atas, membuat birahi kami terkangkangi. Aku, kami, terkesima. Juga terpesona. Dan hanya itu, saat itu, yang mungkin ter-reaksi dalam dada kami.
Sambil tangannya terampil membuka tutup bir, disodorkannya tubuh langsing gitar miliknya ke hadapan kami. Selayak bir-bir itu sendiri.
Buah dadanya, yang aku yakin, setiap perempuan iri ingin memilikinya, kesempurnaannya, padat berisi dan proporsi, seperti direlakan untuk kami nikmati. Meski hanya sebatas kerlingan-kerlingan nakal dari mata kami.
Buah-dada-buah-dada-buah-dada
Buah durian, buah rambutan, buah apel, buah jeruk, dan berbuah-buah lainnya yang dijual berderet di lemari-lemari beku supermarket jetset, terasa jauh lebih sulit terkangkangi.
Dan, tiba-tiba aku teringat, akulah yang paling keras tergelak, ketika dosen morfologi kami menjelaskan tentang perempuan.
Buah-dada-buah-dada-buah-dada.
Begitu berserakannya di sini.
***
Tak ada yang lebih mulia dari sebentuk payudara pada diri seorang wanita. Setidaknya ini penilaian pribadiku, ketika, ah…, aku masih teringat betul, saat aku merengek minta menetek pada buah-dada ibuku.
Sundutan-sundutan ingatan itu masih begitu teras hingga kini. Mungkin, karena di usia yang sudah tidak balita lagi, ibu kami masih merelakan buah-dadanya untuk anak-anaknya, termasuk aku.
Ketika ingatan demikian yang muncul kembali menamparku, serasa aku ingin melempar dosen morfologi-ku dengan umpatan yang paling kotor yang bisa aku teriakkan.*