KEDAI kelontong tua nan kumuh di ruko blk 168 itu, nylempit di antara toko-toko mentereng lainnya, di daerah Ang Mo Kio avenue 4. Bersebelahan dengan Texas Fried Chicken dan McDonald, di depan kedai, di seberang jalan, ada kantor kelurahan yang sekaligus di bawahnya ada Burgerking, serta kedai makanan India halal.
Di kantor kelurahan (istilah saya, sebetulnya bernama community center), selalu ramai aktivitas masyarakat. Siang malam. Lapangan basketnya selalu penuh. Tempat badmintonnya selalu penuh. Ruang yoga juga selalu penuh. Hanya kedai tua nan kumuh itu yang tak pernah ada pembeli.
Ditunggui dua orang sepuh (seperti suami-istri), barang dagangan di kedai itu memang tak ada menarik-menariknya. Aneka makanan dan minuman anak-anak, selalu ketinggalan jaman. Barang kebutuhan sehari-hari pun ala kadarnya. Pendek kata, si pemilik seperti tidak niat jualan. Yang memberi sedikit “daya hidup” dari kedai itu mungkin dagangan bakwa mereka. Memang, dendeng babi kering manis-asin khas Tiongkok itulah dagangan utama kedai tua tersebut.
Tapi, nyaris saban hari, di hari biasa, saya tak pernah melihat ada orang beli bakwa.
Sejak kami pindah ke daerah ini, 13 tahun silam, kedai itu, ya begitu-begitu saja performanya. Kian ke sini kondisi kedai kian memprihatinkan. Kotor dan tak tersentuh pembaruan. Dua orang sepuh pemilik kedai, lebih banyak duduk ketimbang melayani pembeli, atau bersih-bersih kedai mereka. Keduanya, berjualan, seperti hanya sekedar untuk menghabiskan waktu tua mereka. Saya dan istri, saking kasihannya, sering mengajak anak-anak membeli sesuatu ke kedai mereka. Kalau tak minuman ringan, ya makanan ringan.
Saya yakin, jika ruko itu bukan milik sendiri, sudah jauh-jauh hari mereka gulung tikar. Sebagaimana kedai-kedai tetangga mereka yang gulung tikar karena beban sewa tempat yang kian hari kian mencekik (tentang sewa ruko, saya pernah menuliskannya di sini: https://www.facebook.com/photo?fbid=10160012824378444&set=a.10150109465563444)
Tapi, rejeki siapa pula yang bisa mengatur kecuali Semesta? Satu dari 12 bulan dalam setahun, kedai bakwa tetangga itu PANEN RAYA. Ketika Imlek tiba seperti saat ini, TIBA-TIBA SAJA berbondong-bondong orang datang, entah dari mana, memborong bakwa buatan mereka. Ramai sekali. Nyaris sebulan penuh. Pemilik kedai sampai harus menyewa tanah kosong di depan kedai mereka, untuk didirikan tenda darurat tempat memasak bakwa. Dua orang sepuh tadi, juga kudu menyewa banyak pekerja untuk membantu memasak dan menyiapkan pesanan bakwa. Aromanya sedap selalu tercium manakala lewat di dekat kedai mereka menjelang Imlek. Seperti siang tadi, ketika saya makan siang di Texas, saya perhatikan begitu sibuknya para pekerja menyiapkan pesanan pembeli. Beberapa pembeli bahkan memborong berkilo-kilo bakwa.
Si pemilik, yang memang sudah sepuh, hanya duduk-duduk saja. Menikmati hari panen raya. Panen yang mungkin hasilnya bisa dinikmati sepanjang tahun, untuk menutupi hari-hari “kosong melompong” yang biasa mereka tekuni tiap hari.
Bagaimana jika rejekimu datang setahun sekali seperti pemilik kedai tua tetangga saya ini? Bagi saya itu mungkin sedikit membosankan. Tapi bagi dua orang sepuh pemilik kedai kumuh itu, yang demikian mungkin justru yang terbaik yang bisa dapatkan. Tokh, saya yakin, soal duit, di usia mereka, tak butuh-butuh amat. Yang paling memperoleh manfaat, saya yakin, justru para pekerja yang disewa di momen itu, yang sepertinya berasal dari Malaysia. Minimal, para pekerja itu, bisa pulang mudik di hari Imlek, dengan membawa beribu dolar uang Singapura. Upah sebulan mereka bekerja.
Semesta memang maha adil bijaksana.
(*)