Sultan Yohana
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
Sultan Yohana
No Result
View All Result
Home Cerita Foto

Pizza, Burger, Kaviar? Kenapa tak Coba Pisang Goreng?

Sultan Yohana by Sultan Yohana
May 9, 2016
in Cerita Foto
0
0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

: Review Ricoh GR Digital III.

Tujuh tahun silam, dan sekarang (2016) saya baru nulis soal kamera “enak-gila” ini, Ricoh GR Digital (GRd) III? Pasti akan banyak yang bilang, “What the fuck, Bro!”, “Baru bangun tidur ya?”, “Ke mana saja selama ini, Jhelll….?” Orang Malang biasa menyapa seseorang dengan sebutan “jhellll….”

Saya ndak ke mana-mana. Karena saya bukan cari duit dari mereview kamera seperti pereview di internet-internet itu, ya, jawab saya, “semau-mau saya lah mau nulis soal kamera”. Saya ini pedagang kamera “musiman”. Maksudnya, kalau hati ini “musimnya” lagi ingin mencoba kamera itu, ya dikulak, dinikmati senikmat-nikmatnya dulu sembari dijual. Dan kalau kamera itu menggoreskan kesan yang baik, akan saya bagikan pengalaman saya itu di blog ini. Saya juga pedagang yang cupet modal, jadi ndak bisa beli kamera-kamera yang baru muncul.

Tapi jangan khawatir, selera saya tentang fotografi serupa dengan kekaguman saya pada sutradara Guy Ritchie!

By the way, dari iklan internet di Singapura awal Mei 2016 kemarin, saya baru dapat kamera mungil ini dengan harga wajar. Tergolong tinggi untuk ukuran kamera point & shot (bahasa kampungnya poket) 10 megapiksel bertekhnologi tahun 2009. Bahkan harga sekendnya saat ini, melebihi kamera-kamera DSLR semisal Nikon D90 sekelasnya. Di pasaran internasional, harga kamera ini bahkan masih stabil di atas angka US$400. Padahal, untuk poket dengan lensa fix yang hanya bisa motret 28mm (ekuvalen di full-frame) saja, ini kamera termasuk tekhnologi jadul banget lho!

Ketika saya hendak beli, saya coba tawar untuk menurunkan beberapa dolar saja, ndak digubris. Si pembeli keukeuh dengan harga yang dia pasang. Karena rasa penasaran atas kamera ini begitu besar, akhirnya saya penuhi “asking price” yang diminta si pembeli. Berapa? Rahasia pedagang dong! Hehehe…

Sebelumnya, saya sudah “incip-incip” adik si Ricoh GRd III, yakni Ricoh GR V (biasa ditulis Ricoh GR saja) yang punya sensor APS-C (23.7 x 15.7mm) itu. Tak perlu dibahas panjang lebar, jika situs review paling oke, DPReview, memberi penghargaan “DPReview Gold” untuk Si Ricoh GR, tentu kamera ini istimewa. Situs ini ndak main-main ngasih penilaian, dan saya percaya dengan angka-angka yang mereka sodorkan.

Saya benar-benar penasaran dengan GRd III, seusai tak sengaja membaca pengalaman seorang penghobi foto asal Jepang di blognya. Sayang, setelah saya cari-cari lagi blognya, saya gagal menemukannya kembali. Tapi yang jelas, seingat saya, dia menulis “kenikmatan” berlebihan yang ia bisa dapatkan dari GRd III ketimbang memakai seri terbaru seperti GRd IV, bahkan yang terbaru GR sekalipun. “Kenikmatan” yang setara saat dia memotret dengan kamera film.

“Kenikmatan” seperti apa? Itulah yang membuat saya penasaran.

Kalau Anda butuh spesifikasi dan sejenisnya di sini, berhenti membaca tulisan saya ini. Karena saya tak akan menulisnya di sini. Sudah begitu banyak, blog-blog atau situs review membahas spesifikasi Ricoh GRd III. Membahas kekurangan-kelebihan. Saya, hanya ingin berbagi “kenikmatan” yang saya rasakan saat memakai kamera ini.

Ricoh digital dan kamera analog, memang tidak bisa dipisahkan. Terlepas dari sejarah Ricoh analog yang melegenda itu, transformasi pabrikan kamera satu ini dalam mempertahankan “selera film” ke digital, saya anggap paling berhasil ketimbang kamera-kamera merek lainnya. Ketika semua pabrikan kamera berlomba-lomba menghasilkan foto yang kinclong, tajam kayak silet, auto fokus super cepat (entah untuk apa autofokus super cepat seperti milik mirroles Sony A6300? Saya pikir lebih banyak mubadzirnya, karena autofokus secepat ini biasanya dipakai fotografer profesional, yang justru masih memilih DSLR); pabrikan Ricoh dengan seri GR-nya justru memilih “nyante” dengan menawarkan dagangan “terbaiknya” berupa hasil foto “rasa film”. Dan saya curiga, Ricoh GRd III, hingga detik ini harganya masih melangit, karena masih banyak disuka “orang-orang film”.

Bukankah HARGA adalah review terbaik untuk menentukan bagus tidaknya sebuah kamera?!

Sejak keluar Leica D-lux 4, saya adalah pengguna aktif kamer poket. Meski masih kerap memakai DSLR, tapi kamera poket lah yang lebih banyak ada di tas, mengingat aktifitas “cepat-cepat” yang kerap saya lakukan. Lagipula, saya belum lagi  membutuhkan DSLR.

Saya bersyukur, saya bisa menikmati aneka jenis kamera, ketika beraktifitas dagang. Untuk poket Canon dan Nikon, saya anggap “lewat” lah, karena yang ditawarkan keduanya tidak terlalu memberi kesan mendalam pada saya. Bahkan yang seri premium sekalipun. Sony? Saya sempat sebentar menikmati Sony RX100, mencoba-coba seri RX10 dan RX1 di pameran-pameran elektronik di Singapura, namun seperti dagangan kamera Sony lainnya yang menawarkan hal-hal heboh seperti kecepatan autofokus, ketajaman, full-frame, dls. Semua itu tidak terlalu memberi kesan mendalam pada saya. Mungkin karena saya tipikal penghobi foto yang tidak membutuhkan apa yang ditawarkan Sony.

Saya bisa mendapatkannya hasil seperti yang Sony tawarkan dari kamera apa pun, yang harganya setara. Pendek kata, ndak ada yang istimewa, terutama jika dilihat dari harganya. Tapi, saya benar-benar jatuh hati pada poket keluaran Panasonic, Leica, Olympus, serta yang sedang kita bicarakan, Ricoh dengan beberapa varian GR digitalnya, termasuk GRd III.

Beberapa waktu lalu, ketika saya membeli Ricoh GR (seri yang APS-C), saya berencana memakai kamera ini untuk kegiatan sehari-hari, terutama untuk kegiatan Fotografi Jalanan yang memang saya sukai. Saya terkesan dengan review-review kamera ini, terutam saat kamera ini bekerja di mode black & white (B & W). Bagi saya, hasil dari kamera harus sesuai selera, karena saya tidak/jarang/enggan mengubah terlalu berlebihan di proses editing. Bagi saya, kalau motret B&W, ya settingannya harus langsung dari kamera. Tidak lewat Photoshop atau sebangsanya. Ini penting bagi saya, mengingat segala macam keputusan seperti komposisi, nilai cerita yang akan ditampilkan, pesan; keputusannya hanya beberapa detik ketika shutter saya pencet. Saya bukan tipikal penghobi foto yang karena hasil fotonya jelek, terus dihitamputihkan biar kelihatan nyeni atau bagus.

Dan memang, hasil yang diberikan Ricoh GR benar-benar ajib. Kamera ini tajam, cerdas, indah, kontrasnya sempurna, tonal warnanya premium; pendek kata ekselen deh, pantas DPReview memberi penghargaan emas. TAPI, kok sama bagusnya sama Leica D-Lux 6 yang selama ini menemani saya jalan ke mana-mana? Ricoh GR memang memberikan apa yang tidak dipunya Leica: yaitu tadi, “rasa film” yang kental. Tapi untuk B & W, apa yang diberikan Ricoh GR bisa saya dapatkan di D-Lux 6. Terlebih Dlux-6 punya kelebihan berupa focal lenght lensa yang lebih fleksibel, 24 hingga 90 milimeter, dengan bukaan terbesar hingga F/1.4. So, akhirnya saya memilih lebih lama mempertahankan D-Lux 6, dan melepas Ricoh GR.

Kesimpulan saya ketika itu, “tidak ada yang terlalu istimewa dengan Ricoh GR kecuali sensor APS-C dan “rasa film” kelas premiumnya saja. Ricoh, di seri ini, seperti sedikit tergoda mengikuti “dagangan” kamera-kamera lainnya, yang menawarkan hasil yang kinclong bin ekselen. “Kurang nyeni”, begitulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan Ricoh GR.

Ini berbeda dengan Ricoh GRd III. Mungkin karena tekhnologi saat itu yang belum semutakhir sekarang, hingga “rasa film” yang ditawarkan lebih nendang. Foto-foto yang dihasilkan kasar, namun tidak kehilangan unsur keseimbangan. Kontras tapi secara keseluruhan masih bisa mempesona. Noise? Jelas! Hasil, yang saya yakin akan disukai pecinta foto-foto “hardcore” yang tidak mempedulikan apa itu foto tajam, dan ekselen. Anda tidak akan mendapatkan foto jalanan, apalagi jika disetting B & W yang sempurna dari Ricoh GR digital III. Tapi, hal itu akan terobati dengan hasil-hasil tak terduga, yang kadang justru membuat kita ingin terus memotret dengan kamera ini.

Ibarat makanan di meja makan, di antara makanan-makanan lezat seperti pizza, burger, atau kaviar, dan anggur Prancis; Ricoh GRd III seperti seonggok pisang goreng hangat di atas piring yang asapnya masih mengepul, untuk memanggil penikmatnya. Hanya orang-orang berselera tertentu yang tahu bagaimana menikmati pisang goreng hangat? Ya, duduk sore di beranda rumah sembari ditemani kopi, sebungkus Djie Sam Soe, serta setumpuk buku karya Romo Mangunwijayan. Tapi jangan lupa, singkirkan dulu HP atau gadget canggih Anda, sebelum bisa sempurna menikmati pisang goreng hangat sore itu!

Selamat menikmati beberapa foto yang saya jepret dengan Ricoh GRd III.

NOTE: tulisan ini saya buat dengan sadar, tidak mabok, tidak saya lebih-lebihkan, apalagi niatan agar dagangan saya laku. 

Sultan Yohana

Sultan Yohana

Related Posts

Kucing-kucing Mudik
Cerita Foto

Kucing-kucing Mudik

April 7, 2025
Hitam-Putih dengan 7D2
Cerita Foto

Hitam-Putih dengan 7D2

February 1, 2025
Cerita Foto

Monyet Ekor Panjang di Sebuah Pojok Singapura

January 30, 2025
Next Post
Ridwan, Risma, Ahok, Serta Indikasi Masalah Mental

Ridwan, Risma, Ahok, Serta Indikasi Masalah Mental

Media Sosial dan Jaman Fitnah (bagian II)

Media Sosial dan Jaman Fitnah (bagian II)

Ikhtiar Sehat dengan Merokok

Ikhtiar Sehat dengan Merokok

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Me

Rekomendasi

Hadiah Langka di Pagi Cerah*

16 years ago
Bang a/ Mas, Kakak Saja lah

Bang a/ Mas, Kakak Saja lah

14 years ago
Intelektual Publik

Intelektual Publik

14 years ago
Tuhan yang Semakin “Mahal”

Tuhan yang Semakin “Mahal”

8 years ago

Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.

Kategori

  • Batam
  • Bolaisme
  • Catatan Bola
  • Catatan Lepas
  • Catatan Publik
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
  • Humaniora
  • Indonesiaku
  • Jurnalisme
  • Kultur
  • Ngalor Ngidul
  • Politisasi
  • Review
  • Sastra
  • Singapura
  • Tentang Aku
  • Video

Topics

Abdul Gofur Air minum Alas kaki Batam Bule Catatan Cerita Dollar Efisiensi Ekor panjang Fasilitas Foto Gadis China Gaji Honor Humaniora Indonesia Jatim Johor Karyawan Kedai Kucing Kurs Mahal Malang Malaysia Masjid Menteri Monyet Mudik Pengemis Photo Premanisme rasa singapura Rezeki Rupiah Sejarah Sepakbola Sepeda Singapore Singapura Taipei Taiwan Tanjungpinang Warung
No Result
View All Result

Highlights

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Kucing-kucing Mudik

Pintarnya Johor Mendulang Untung dari Singapura

Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki

“Seteguk Air Dingin”: dari budaya baik bule di Singapura

Trending

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme
Catatan Lepas

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

by Sultan Yohana
May 26, 2025
0

SAYA membaca laporan Majalah Tempo pekan ini, "Oke Gas, Hercules". Tentang premanisme, terutama tentang sepakterjang Herkules dengan...

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

May 19, 2025
Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

May 13, 2025
Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

May 3, 2025
Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

April 20, 2025
Sultan Yohana

© 2023 Sultan Yohana

Kunjungi Juga

  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Kontak

Ikuti Saya

No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek

© 2023 Sultan Yohana