Belum lagi kopi yang saya buat terseruput mulut, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Pikir saya, tumben ada tamu sepagi ini. Jika di Singapura pagi itu jam menunjuk di angka 08.15, berarti di Batam satu jam lebih pagi. Kedatangan tamu sepagi itu di Singapura, baru itu kali saya dapati. Jujur, saya sedikit terganggu, apalagi pagi di hari Kamis kemarin itu, saya harus cepat-cepat kembali ke Batam. Untuk bekerja.
Saat saya intip lewat lubang pintu, di luar terlihat seorang pria yang belum saya kenal. Ketika pintu saya buka, dengan ramah dia menyapa dengan bahasa Tionghoa. Saya yang asli wong Jowo, tentu tak mengerti apa pun kata yang disapakannya. Untungnya, istri saya buru-buru keluar, dan segera mengajak bicara tamu tadi. Teralis pintu terbuka, dia pun kami persilahkan masuk.
Pria itu adalah tukang renovasi rumah, dan dari penampilannya, ia mungkin menjadi remaja saat dekade 80-an. Model rambut vokuhila atau depan-samping pendek dan belakang panjang yang menghiasi kepalanya, menunjukkan hal itu. Namun meski saya taksir sudah berumur 50-an, tapi gerakan pria itu gesit dan cekatan.
Tanpa duduk ataupun berbasa-basi, segera saja pria itu mengambil sebuah gulungan warna hijau dari tasnya. Gulungan yang tak lain adalah karpet selebar sekitar 70-an sentimeter, namun panjangnya bermeter-meter. Ia kemudian menggelarkannya karpet itu, dari pintu hingga ruang di mana tempat renovasi. Kebetulan hari itu, pipa air rumah kami harus direnovasi. Karpet itu, hanya berfungsi sebagai alas kaki, agar lantai tidak kotor saat tukang keluar-masuk rumah membawa bahan bangunan.
Tapi bukan tukang berpotongan rambut vokuhila itu yang menarik perhatian saya hingga menuliskannya di halaman Rasa Singapura ini. Melainkan proses di mana hingga ia bisa datang, hingga campur tangan anggota parlemen atau wakil rakyat di tempat tinggal kami.
***
Pekan ini memang menjadi salah satu pekan paling sibuk, serta apes bagi keluarga kami. Kami baru saja menyelesaikan kepindahan rumah kami. Kini kami tak lagi tinggal di rumah mertua. Sebetulnya, hampir tiga bulan lalu rumah kami sudah siap ditempati, setelah dengan susah payah, seorang diri saya cat seluruh rumah.
Namun tidak adanya waktu untuk berkemas-kemas. Istri saya kerja, saya kerja. Hingga pertengahan November ini, saat istri libur dua bulan dari tempatnya mengajar, kesempatan pindah itupun datang. Beres memindahkan barang-barang, tiba-tiba ada persoalan lain yang kami temui. Salah satu pipa di rumah kami bocor. Bocoran airnya merembes, merusakkan sebagian kitchen cabinet yang baru saja kami buat. Inilah apes yang saya maksudkan.
Saya cari lokasi bocornya, ternyata di tempat yang sama ketika kami laporkan ke Town Council, September lalu. Town Council adalah dewan kota yang memang ditugasi mengurusi thethekbengek urusan rumah susun, taman, jalanan, termasuk fasilitas umum di satu tempat. Jika ada masalah kebocoran pipa atau hendak merenovasi rumah, kita biasa melapor ke Town Council.
September lalu petugas Town Council sudah memerintahkan tukang renovasi rumah untuk memperbaiki pipa yang bocor. Saya sendiri yang menunggui pengerjaan penambalan pipa itu. Beres, dan kemudian setelah tak lagi bocor, pemasangan kitchen cabinet bisa dilakukan. Town Council tidak mengurus pemasangan kitchen cabinet, kamilah yang harus mencari pemborong, plus membayar semua biayanya.
Sialnya, akhir pekan kemarin, pipa yang ditambal itu bocor lagi. Merusak sebagian kitchen cabinet, hingga memaksa kami kembali menelepon Town Council. Seorang petugas dewan kota datang, mengecek kerusakan, dan segera kemudian memasang tarif $250 untuk penggantian pipa. “Pipa harus diganti, tidak bisa ditambal,” kata petugas itu. Tentu saja kami marah.
Andy, pemborong kitchen kabinet, juga kami telepon. Kami minta dia datang untuk memperkirakan berapa biaya yang kami keluarkan untuk memperbaiki kitchen cabinet yang rusak kena bocoran air pipa. Sial, “$250 dolar,” kata dia. Sial, pikir kami, harus keluar lagi uang 500 dolar Singapura untuk sebuah kesalahan yang tidak kami perbuat. Wah, angka itu bahkan lebih besar dari gaji saya sebulan sebagai wartawan.
Hingga, terpaksalah kami kirim e-mail pengaduan ke anggota parlemen atau wakil rakyat setempat. Alamat e-mail, bahkan telepon mudah didapat. Di setiap papan pemunguman di bawah apartemen, selalu diberi alamat e-mail atau telepon wakil rakyat setempat. Lewat e-mail, kami ceritakan persoalan bocornya pipa di rumah kami, laporan yang sebelumnya kami buat pada bulan September lalu, hingga besarnya tarif yang diminta Town Council untuk memperbaiki kembali pipa yang bocor.
Tak disangka, tanpa menunggu lama, si wakil rakyat langsung menelepon istri saya. Dalam pembicaraannya dia meminta maaf, dan berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan kami kepada Town Council. Dijanjikan begitu, saya yang terbiasa mendengar janji wakil rakyat Indonesia yang tak pernah ditepati, sedikit pesimis. Ketika itu saya lupa kalau saya tinggal di Singapura. Negeri yang wakil rakyatnya memegang janji-janji mereka.
Esok harinya – lagi-lagi tanpa kami duga – petugas Town Council datang kembali. Tapi kali ini, dengan wajah yang lebih bersahabat dan segudang permintaan maaf, mengatakan bahwa kami tak perlu membayar biaya perbaikan pipa. Pihak Town Council yang akan menanggungnya. Petugas itu bahkan memberi tawaran untuk memberi uang kompensasi atas kerusakan kitchen cabinet karena kebocoran pipa tadi. Dalam hati saya, alhamdulillah, tak jadi keluar uang 500 dolar Singapura. Si wakil rakyat yang menelepon istri saya kemarin, pasti sudah ikut campurtangan soal kebocoran pipa di rumah kami. Hingga petugas Town Council berubah ramah.
Hingga kemudian, setelah urusan dengan pihak Town Council kelar, pria berambut model vokuhila datang. Pagi-pagi sekali, bahkan ketika saya belum sempat menyeruput kopi yang baru saya buat.
Di Singapura, seorang wakil rakyat saja mau mengurusi masalah pipa bocor di rumah warganya. Di Batam, bahkan ketika jalan raya sudah berubah menjadi kubangan “pembunuh” pengendara motor, mereka masih bisa tidur nyenyak tanpa merasa bersalah.