PRAKTIS, saat ini, saya punya aktif di tiga tim sepakbola. Tim pertama dan terlama, adalah tim sepakbola kawan-kawan sekomplek, yang main tiap Sabtu di lahan kosong taman dekat rumah. Kedua, tim yang kami susun secara serius untuk menghadapi liga veteran tahun depan: tiap Minggu pagi latihan, di lapangan standar. Tim kedua ini, pemainnya berumur di atas 35 tahun. Tertua 60 tahun. Saya ditunjuk sebagai striker utama. Hari Minggu kemarin, di lapangan SMP Serangoon North, dua gol dan tiga assis saya buat, dalam kemengan 10-3 atas tim yang rata-rata diisi pemuda-pemuda di bawah 30 tahun. Hehe, nyombong dikit!
Tim ketiga yang saya ikuti adalah tim yang diisi oleh anak-anak muda. Rata-rata berusia 20an tahun. Kebanyakan anak-anak universitas. Tim ini kerap meminta saya bermain, ketika tak cukup pemain. Karena usia, dengan tim ini saya selalu meminta bermain sebagai bek tengah. Selain karena sedikit lari, tentu saja saya tahu diri, tak akan bisa menang adu sprint melawan pemuda-pemuda 20an tahun. Tim ini selalu bertanding saat ada lawan mengajak pertandingan persahabatan.
Meski beda tim, beda orang, ada satu kesamaan yang saya rasakan selalu ada di ketiga tim yang saya ikuti. Ketiganya, tidak ada kata “becanda” dalam bermain bola. Meski, saya sendiri, telah meniatkan pada diri sendiri, bermain bola sekedar untuk bersenang-senang. Bergembira. Tapi, selalu saja kawan-kawan, terutama kawan asli Singapura, entah itu yang muda maupun yang tua, mereka bermain dengan keseriusan yang kadarnya nyaris tidak bisa saya percaya. Seringkali saya geleng-geleng kepala sendiri, dan kerap bertanya dalam hati, “apakah mereka tidak bisa sekedar menikmati permainan sepakbola? Apakah orang Singapura tidak bisa sedikit nyante?”
Bahkan di pertandingan di taman dengan gawang kecil pun, rencana harus disusun, strategi harus dibangun. Kemenangan harus diusahakan sekeras mungkin. Saya yang sering bermain “semau gue” kerap mendapat marah oleh rekan setim, karena dianggap tidak bertanggungjawab dengan tugas saya. Itu karena saya berpikir, bermain bola ini kan, sekedar bersenang-senang! Kenapa harus serius sekali?!?
Tapi, begitulah adanya. Persaingan antarpemain yang begitu intens, harus ada di setiap pertandingan. Gaprak sini-sana, tackle sini-sana, keras sekali. Kaki saya sampai penuh bekas luka. Namun uniknya, nyaris tidak ada di antara mereka yang bermain kasar, atau sengaja mengasari lawan. Kalaupun terjadi insiden, cepat-cepat mereka minta maaf. Bukan malah saling adu pukul.
Ketika sedang bermain, sesederhana apa pun pertandingan, harus dilakukan dengan serius, penuh perhitungan, perencanaan yang matang. Meski bermain keras, setelah pertandingan kami bisa ketawa-ketiwi seperti tidak terjadi apa-apa. Duduk ngopi, sambil kadang-kadang mengisap rokok kegemaran kami.
Watak kompetitif yang telah mendarah-daging pada diri orang Singapura inilah, yang mungkin membuat mereka bisa semaju sekarang. Tapi, tingginya kompetisi dalam hidup mereka, itu yang saya duga membuat mereka mudah stres. Dalam tiga bulan terakhir ini saja, dua orang tetangga saya bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari gedung tinggi.
Kalau saya sih, sebagai orang Indonesia, lebih banyak sante-nya ketimbang serius! Hehe. Itu mungkin, kenapa, saya tak bisa maju-maju seperti kawan-kawan Singapura saya.
(*)