DUA kesempatan bersolat di sini, sebelumnya, ini masjid selalu dalam tahap renovasi. Tapi kali itu, Selasa (11/2/2025) lalu, saya bisa benar-benar menikmati indahnya Masjid Abdul Gafoor, di Little India, Singapura. Meski kecil, namun masjid ini benar-benar indah, unik, dan jauh dari kesan mewah. Berada di dalam masjid yang sudah ada sejak 1859 ini, saya seperti dilemparkan ke seratus tahun silam.
BERSAMA Masjid Sultan, Masjid Malabar, dan Masjid Jamae Chulia; Masjid Abdul Gafoor ini adalah masjid-masjid terindah di Singapura. Anda yang berekreasi ke sini, harus mengagendakan mengunjungi empat masjid ini!
Terletak di 41 Dunlop Street, d kawasan cagar budaya Little India, nama masjid ini diambil dari nama pendirinya, Shaik Abdul Gafoor bin Shaik Hyder. Sebelumnya, nama masjid ini adalah Masjid Al-Abrar. Cerita di balik berdirinya masjid ini menarik. Di pertengahan abad 19, di lahan seluas 20 hektar di dekat masjid itu, dibangun tempat pacuan kuda pertama di daerah Little India. Perlombaan pacuan kuda sendiri, digelar pada tahun 1843, dan hingga kini lomba masih berlangsung.
Namun tempat pacuan kuda kini sudah dipindahkan ke daerah Kranji. Kenapa pacuan kuda, juga olahraga polo popular di Singapura? Itu tak lain karena Singapura dijajah Inggris yang mengekspor kegemaran berkuda ini ke negeri jajahannya. Di Kranji, pacuan kuda ini begitu banyak diminati. Pengunjung yang datang melebihi supporter sepakbola.
Kembali ke pertengahan abad 19. Tempat pacuan kuda di Little India selalu ramai oleh penonton. Perlombaan diadakan dua kali setahun, pada bulan Mei dan Oktober, yang sering kali berlangsung selama tiga hingga empat hari. Orang Eropa dan pedagang Cina kaya, tak pernah absen mengikuti lomba ini. Hari-hari perlombaan adalah hari libur setengah hari, dengan bank dan kantor pemerintah tutup pada siang hari. Masyarakat Singapura berduyun-duyun ke sana. Menikmati pacuan kuda.
Peluang di keramaian itu dimanfaatkan oleh orang India untuk berdagang di sana, termasuk para pedagang India Muslim. Di sisi lain, orang Bawean adalah suku yang terkenal sebagai sais dan pemelihara kuda yang handal. Pedagang India Muslim dan sais/pemelihara kuda Bawean, tentu butuh tempat salat. Lalu, bersepakatlah mereka mendirikan masjid, dan masjid itu kini bernama Masjid Abdul Gafoor.
Oleh pemerintah Singapura, masjid itu bahkan telah ditetapkan sebagai monumen nasional pada tahun 1979.
Berdiri di atas lahan seluas 2.449 meter persegi, gaya arsitek Moor yang tidak biasa pada masjid ini membedakannya dari masjid lain di Singapura. Secara arsitektur, masjid ini meniru desain Saracen dan Romawi.
Arsitektur Moor sendiri adalah gaya dalam arsitektur Islam yang berkembang di dunia Islam Barat, termasuk di semenanjung Iberia (Maroko, Aljazair, dan Tunisia). Arsitektur ini memadukan pengaruh dari arsitektur Romawi pra-Islam, Bizantium, dan Visigoth. Yang paling menarik perhatian saya adalah kubah di tengah ruang persalatan. Kubah itu seperti tabung cahaya yang menangkap cahaya dan angin di luar, untuk kemudian menyalurkannya ke bagian Utama masjid. Membuat ruang utama masjid terasa teduh, segar, dan tidak gelap. Kubah itu ditopang empat tiang besar yang membentuk lengkungan setengah lingkaran dengan berbagai ukiran yang sama indahnya dengan keseluruhan masjid.
Berada di dalam masjid ini, saya seperti dilemparkan kembali ke masa lampau, tak lagi di Singapura tempo kini. Setiap detilnya begitu enak dinikmati, dan seolah-olah ingin menceritakan betapa hebatnya orang-orang terdahulu. Setiap sudut masjid seolah-olah berbisik pada saya, “jangan melupakan sejarah!”
(*)













