SAYA membaca laporan Majalah Tempo pekan ini, “Oke Gas, Hercules”. Tentang premanisme, terutama tentang sepakterjang Herkules dengan organisasi GRIB-nya. Tulisan-tulisan, dalam laporan itu, menempatkan preman dan premanisme sebagai “aktor utama” kisruh yang akhir-akhir ini kerap menjadi viral.
Laporan yang juga menjlentrehkan hubungan mutualisme antara preman dan penguasa, antara preman dengan pebisnis, atau antara preman dengan para tokoh-tokoh high-profile, termasuk ulama. Tapi, sedikit sekali – atau jika boleh disebut tidak ada – laporan yang menjelaskan kenapa preman lahir, dan berkembang begitu digjaya di negeri ini.
Di laporan tentang premanisme ini, Tempo banyak mengutip caatan-catatan dalam buku “Politik Jatah Preman”-nya Ian Douglas Wilson. Buku ini memang menarik dan asyik. Anda harus membacanya! Buku ini menjelaskan dengan gamblang bagaimana preman dan premanisme lahir dan membesar di Indonesia. Untuk kemudian, dalam perkembangannya, tokoh-tokoh preman itu bermetamorfosis menjadi politikus, menjadi pebisnis, membentuk organisasi kemasyarakatan. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk “MENCUCI DIRI” agar mereka berubah menjadi persona yang lebih bisa diterima masyarakat secara luas. Ada BENANG MERAH kenapa sebagian politikus Indonesia begitu koruptif dan seolah “raja tega” terhadap penderitaan masyarakat. Karena latarbelakang mereka yang memang preman dan sangat manipulatif.
Tapi, ada banyak preman “baik”, dan biasanya preman-preman yang demikian tidak pernah ingin terlibat politik atau masuk organisasi kemasyarakatan, hanya untuk “mengamankan” diri mereka sendiri. Pendek kata, mereka tidak munafik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “preman” disematkan pada orang-orang jahat yang kerap menodong, merampok, memeras, atau sejumlah tindakan melawan hukum lainnya. Sementara Wikipedia menambahkan, “premanisme” sebagai cara hidup yang mengedepankan kekerasan sebagai tindakan penyelesaian satu persoalan. Dari pengertian ini, jika Anda JELI memperhatikan, Anda akan menemukannya AKSI PREMANISME di hampir setiap lini kehidupan masyarakat Indonesia.
Tahukah Anda, di negeri yang begitu kaya seperti Indonesia, siapa pihak yang paling keras melakukan pemerasan? Penghilangan nyawa? Tipu muslihat? Mari kita cari siapa pihak itu!!!
Banyak contoh aksi-aksi premanisme, yang terkadang justru luput dari perhatian kita. Misalnya Pemerintah yang memeras rakyatnya dengan pajak dan pungutan-pungutan tak masuk akal, sementara hasil pajak justru dikorupsi, dan dana pembangunan dicarikan lewat utang. Petugas kelurahan mempersulit pengurusan KTP agar tercipta peluang dapat sogokan. Organisasi keagamaan atau masyarakat yang doyan nodong proposal atau minta paksa proyek. Ustad-ustad yang memakai isu surga/neraka/pahala sebagai alat mengumpulkan sedekah untuk kepentingan pribadi. Dosen yang memberi nilai bagus setelah diservis bagus oleh mahasiswanya. Wakil rakyat yang menipu lewat pembuatan undang-undang. Penggusuran Rempang. Pembukaan paksa lahan di Papua atau Kalimantan. Polisi yang suka 86. Wartawan yang gemar memeras lewat berita.
Sebagian kecil contoh-contoh di paragraf atas, yang biasa kita temui di kehidupan sehari-hari, bagi saya, adalah aksi-aksi premanisme nyata yang lebih merusak ketimbang jagoan embong Malang yang nodong cuma minta rokok. Sayangnya, masyarakat justru tidak menyadari aksi-aksi premanisme itu, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Sesuatu yang dibolehkan. Sesuatu yang seharusnya terjadi. Lebih ironis lagi, pelaku-pelakunya justru dilambungkan sebagai TOKOH MASYARAKAT yang patut mendapat hormat sebesar gunung Tangkuban Perahu.
Jaman memang, wis wolak-walik! Seperti gunung Tangkuban yang disangka terbalik.
Contoh-contoh tindakan premanisme sehari-hari di atas, yang pelakunya justru dianggap sebagai bukan preman, kemudian melekat di memori masyarakat kita. Membentuk sikap permisif di masyarakat kita. Hingga pada akhirnya, dianggap sebagai sebuah kewajaran. Yang tidak melakukan, justru dianggap bodoh.
Sebaliknya, sebutan preman hanya disangkakan pada tukang-tukang parkir yang sekedar mencari seribu-dua lembar rupiah. Kepada mas-mas gondrong tatoan yang cari penumpang di terminal. Pemabok-pemabok yang gemar tawuran. Atau orang-orang semacam Herkules yang, suka atau tidak suka, justru bisa menjadi SINYAL peringatan kepada kita semua: bahwa ada yang tidak beres di negeri ini!
Saya beruntung punya banyak pengalaman dengan preman-preman jalanan yang selalu menjadi obyek syak wasangka buruk banyak pihak. Ketika puluhan tahun menjadi wartawan kriminal di Batam, saya kerap bersinggungan dan “akrab” dengan mereka. Penjahat-penjahat jalanan yang seringkali terpaksa masuk penjara, hanya karena mempertahankan hidup mereka yang keras dan minim pilihan. Preman atau penjahat-penjahat yang menjadi jahat karena memang sudah duluan divonis masyarakat sebagai “penjahat”. Preman atau penjahat-penjahat yang merasa tidak lagi punya tempat – di masyaakat – kecuali di dunia kejahatan mereka sendiri. Preman atau penjahat-penjahat, yang justru jahat karena DIKORBANKAN oleh sistem yang korup dan merusak. Saya bahkan punya seorang karib, preman yang menjadi “tukang pukul” seorang politikus beken di Batam, dan salah satu kerjanya adalah menerima order “memberi pelajaran” siapa-siapa orang yang menjahili bosnya.
Jika bukunya Ia Doglas Wilson, “Politik Jatah Preman” menjelaskan fenomena preman dan premanisme di Indonesia; Anda bisa ulik rusaknya sistem pemerintahan kemasyarakatan yang korup secara mendalam lewat jalinan fakta dan bukti sejarah di bukunya Anton E Lucas, “Peristiwa Tiga Daerah”. Kawan saya, seorang sejarawan, Dedi Arman, pernah mengatakan, buku Anton E Lucas ini adalah buku yang “wajib” dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan sejarah. Ini menunjukkan betapa pentingnya buku “Peristiwa Tiga Darah”. Buku Anton Lucas bagi saya, adalah penjelasan sejarah yang paling telak dan jujur, jauh dari pesan-pesan propaganda buku-buku pelajaran sejarah yang sebelumnya sudah biasa kami pelajari di sekolah-sekolah. Buku yang bisa memberi gambaran dan penjelasan, kenapa premanisme begitu marak dan subur di Indonesia.
Di buku “Peristiwa Tiga Darah”, meski tidak membicarakan preman atau premanisme secara khusus, kita bisa menelusuri jejak yang panjang dari jahat, korup, dan rusaknya sistem kemasyarakatan (baca: pemerintahan) di Indonesia. Sudah sejak jaman Belanda misalnya, praktik-praktik korupsi dan penindasan dilakukan pejabat pamong-praja, penguasa daerah, serta ulama-ulama daerah, yang skala kerusakannya mampu menjadi pemicu pemberontakan-pemberontakan di daerah. Kemiskinan dan penderitaan yang teramat berat, kemudian memunculkan orang-orang nekat yang punya satu cara untuk bisa mengubah hidup mereka: menjadi preman. Di jaman itu, menjadi preman, bisa juga berarti mendapatkan tiket untuk bisa menjangkau akses ekonomi yang lebih baik. Meski dengan cara yang jahat.
Di buku itu, tiga daerah yakni tiga daerah yakni Brebes, Tegal dan Pemalang, dipakai Lucas sebagai contoh terbaik dari system rusak itu. Partai Komunis, dalam hal ini berhasil memanfaatkan situasi kacau itu untuk mengkonsolidasi, mengorganisir dengan baik perlawanan-perlawanan rakyat jelata.
Di jaman romusha Jepang misalnya, para lurah-lurah banyak yang menilap jatah hidup dan bayaran dari pekerja, hingga mengakibatkan kelaparan parah dan kematian yang tak perlu. Lurah-lurah itu, bekerjasama dengan jagoan-jagoan setempat (baca preman); membentuk sebuah persekutuan kuat untuk mengintimidasi masyarakat, hingga tak berani melakukan perlawanan. Ini sebetulnya cara serupa yang dilakukan Belanda untuk melanggengkan kekuasaan mereka di Nusantara.
Praktik korupsi dan penindasan pribumi oleh “penguasa pribumi” sendiri, di era penjajahan Belanda dan Jepang, terjadi hampir di semua wilayah nusantara. Itu berlangsung hingga Indonesia merdeka. Tak semua daerah punya keberanian seperti yang ditunjukkan Tegal, Brebes, dan Pemalang. Di era kemerdekaan, terutama di awal Orde Baru, kita semua tahu, Partai Komunis, partai yang secara terang-terangan berada di belakang rakyat yang tertindas, nasibnya mirip nasib preman jalanan. Partai Komunis dibebani tuduhan-tuduhan yang tidak benar (salah satunya seperti anti agama), yang mengakibatkan partai ini menjadi musuh bagi semua pihak. Klimaksnya adalah pembantaian jutaan orang yang dituduh komunis, meski sebagian besar tak tahu apa-apa tentang hakikat komunisme itu sendiri.
Di era itu pula, eranya Soeharto, menjadi titik mula munculnya PREMAN-PREMAN BERDASI, yang kemudian menjarah dan menghabiskan kekayaan Indonesia dengan sesadis-sadisnya dan tanpa etika. Meninggalkan rakyat dalam kemelaratan akut. Kemelaratan yang tentu saja di belakangnya membonceng kebodohan. Melarat dan bodoh, adalah situasi ideal bagi lahirnya preman-preman jalanan. Fenomena yang akhir-akhir ini marak kembali dan keberadaannya kian viral, serta meresahkan semua pihak.
Kita resah dengan preman. Tapi kita lupa, kita lah “orangtua kandung” dari preman-preman itu. Kita yang melahirkan mereka. Kita yang membesarkan mereka! Seharusnya, kita pula yang menerima akibatnya.
Segelap dan sepanjang apa pun lorong yang menaungi kita, akan selalu ada cahaya terang di depan kita. Jika kita mau berjalan ke depan dengan sabar. Dalam kasus preman dan premanisme di Indonesia, satu-satunya cara melawannya adalah dengan meniadakan kemelaratan, kebodohan, serta ketidakadilan! Dan itu sangat tidak mudah!
(*)