BEGITU pertunjukan film usai, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut istri ketika kami beranjak dari tempat duduk adalah, “saya pikir (para aktornya) Christian, tapi kok banyak berkata ‘Insyallah’…”
“Orang Palestina itu (etnis) Arab, berbahasa Arab, dan tak semua orang Arab Islam. Mereka (pemakai bahasa Arab) biasa memakai kata “Insyallah”, Alhamdulillah…, ” saya mencoba memberikan penjelasan sebisa mungkin. Sabtu (20/1) siang itu, saya sama istri memilih menghabiskan siang dengan menonton film “Wajib”. Sepanjang pekan ini, Singapore Palestine Film Festival tengah digelar. Di jaringan bioskop independen, The Projector (https://theprojector.sg/themes/singapore-palestine-film-festival/ ) Diijinkannya pergelaran Singapore Palestine Film Festival, bagi saya, menjadi preseden positif untuk pemerintah Singapura, yang dianggap lebih condong Israel.
Di Singapura, tidak mudah lho, mendapatkan izin kegiatan-kegiatan yang sangat sensitif begini.
Singapura sendiri, lewat perdana menterinya, Lee Hsien Loong (https://www.straitstimes.com/singapore/no-alternative-to-two-state-solution-to-resolve-middle-east-conflict-pm-lee), menjelaskan posisi mereka atas konflik Palestina-Israel. Ia mengecam keras dan melabeli pembunuhan 1.400 orang Israel dan penyanderaan 240 lainnya yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023, sebagai “serangan teroris yang mengerikan dalam skala besar”, dan sepenuhnya memahami perasaan dan pemerintah Israel terhadap aksi itu. Namun PM Lee juga sangat menyayangkan aksi balasan Israel yang dinilai keterlaluan dan disebutnya sebagai “tragedi kemanusian yang sangat massif”. Satu-satunya cara yang dianggap PM Lee bisa mengatasi persoalan Palestina-Israel yang sudah berlangsung selama puluhan tahun itu, adalah dengan “solusi dua negara”.
Tapi, mari kembali ke festival film Palestina itu. Sabtu siang itu, penonton membludak. Semua kursi terisi. Padahal harga tiketnya dua kali lebih mahal dari harga biasanya. Penontonnya, saya perhatikan, datang dari berbagai latar-belakang. Banyak yang dari kalangan “liberal” seperti kami. Orang-orang China, India, dan bule. Namun yang paling dominan mengisi bangku bioskop datang dari saudara-saudara Melayu. Ibu-ibu berjilbab brukut, dari remaja hingga nenek-nenek sepuh; berbondong-bondong menonton film berjudul “Wajib” itu.
Saya, dan mungkin semua penonton yang datang ke Singapore Palestine Film Festival mungkin berharap mendapatkan pertunjukan film yang “haru-biru”, berisi kesengsaraan rakyat Palestina akibat perang. Tapi harapan itu meleset saat menyaksikan film “Wajib”. Mengambil setting lokasi di kota Nazareth, film drama produksi 2017 ini mengisahkan seorang guru tua, Abu Shadi, yang ditemani anak lelakinya, Shadi, mengantarkan undangan pernikahan Amal, adik perempuan Shadi.
Abu Shadi dan keluarganya adalah penganut Kristen.
Tapi mereka adalah seorang Palestina sejati. Yang menganggap pemerintah zionis Israel adalah pemerintah pendudukan yang sangat diskriminatif. Mirip apartheid-nya Afrika Selatan tempo dulu. Adegan Abu Shadi ketakutan setelah mobilnya tak sengaja menabrak seekor anjing di pemukiman Yahudi, dan sesegera mungkin pergi dari lokasi sembari mengatakan, pemerintah zionis Israel memperlakukan anjing lebih manusiawi ketimbang orang Palestina, adalah gambaran betapa diskriminatifnya kehidupan di sana. Shadi yang arsitek dan menetap di Italia, bahkan sangat membenci pemerintahan zionis Israel. Ia tak sudi makan satu warung dengan tentara-tentara Israel.
Bukankah memang pada kenyataannya Palestina itu adalah sebuah negara yang multi agama. Jika kita sepakat Israel adalah penjajah dan kita berpihak pada Palestina, seharusnya pula kita menahan diri dari MEMONOPOLI ide bahwa satu-satunya yang menderita adalah kaum Muslim Palestina; satu-satunya yang berjuang adalah orang Muslim Palestina; satu-satunya yang terbunuh adalah anak-anak Muslim Palestina, satu-satunya yang terusir, kehilangan rumah dan tanah mereka adalah orang Muslim Palestina. Ada 6 persen saudara Kristen Palestina yang juga mengalami nasib serupa. Sama-sama berjuang melawan zionis Israel.
Bagi saya, tidak memonopoli ide “seolah-olah hanya umat Muslim Palestina” yang menjadi korban dan berjuang untuk kemerdekaan negara mereka sangat penting. Monopoli ide tersebut, bisa menyesatkan sekaligus justru membuat rakyat Palestina lebih menderita. Karena ide itu, seolah-olah menghadap-hadapkan Islam dengan Israel semata. Menjerumuskan sekaligus membungkus konfik sebagai konflik antar-agama. Dan ini SANGAT BERBAHAYA. Pihak yang paling menderita ketika konflik Israel-Palestina dianggap sebagai konflik agama, justru saudara-saudara kita di Palestina.
Semula kita ingin membela, tapi justru kita malah menyiramkan minya pada api yang berkorban. Dan, film “Wajib” seperti MEMBERI PERINGATAN bagi Dunia, agar umat Muslim Dunia tidak terjebak dalam ide itu. Persoalan sesungguhnya: penggusuran dan perampasan tanah Palestina, diskriminasi, pembunuhan, yang dilakukan zionis Israel, justru terkaburkan (lihat posting saya lainnya: https://www.facebook.com/search/posts?q=Israel%20itu%20Apartheid&filters=eyJycF9hdXRob3I6MCI6IntcIm5hbWVcIjpcImF1dGhvcl9tZVwiLFwiYXJnc1wiOlwiXCJ9In0%3D.
Jika Anda mengikuti isu-isu internasional di seputar konflik Palestina-Israel, argumentasi Barat di sidang PBB, atau kecenderungan Amerika dan negara-negara Eropa berada di belakang Isreal: alasan yang dikemukakan mereka sangat masuk akal. Kampanye negara-negara seperti Iran untuk membumihanguskan Israel, atau segenap dalil Quran berisi kebencian yang dipaksakan oleh sebagian kaum Muslim dari negara-negara seperti Indonesia untuk “menghakimi” Israel atau Yahudi sebagai kaum yang dikutuk Tuhan; semua itu justru menjadi ALASAN TERKUAT negara-negara di Dunia untuk mendukung Israel terus memerangi Palestina.
Jika sudah demikian, kian rumit persoalan!
Konflik Palestina-Israel itu bukan konflik agama. Terutama antara Islam dan Yahudi. Bahkan, presiden Palestina, Mahmod Abbas, pernah membuat pernyataan, sejumlah pemimpin pergerakan di Palestina beragama Kristiani. “Kami bahkan baru mengetahui agama para pejuang saat mereka tewas sebagai martir, ketika mereka dibawa ke masjid atau gereja,” begitu seperti dikutip dari BBC.
Tapi, seringkali kita bebal pada keyakinan kita sendiri. Kurangnya informasi, keengganan mencari berita dari sumber terpercaya, serta Quran yang dibaca sepotong-sepotong, adalah sebagian persoalan utama kenapa begitu mudahnya umat Islam, terutama di Indonesia yang terjebak dalam isu perang agama di Palestina.
Lagipula – an sich – jika kita benar-benar membela umat Islam, kenapa kita tak memperlakukan hal serupa konflik Rohignya? Di mana 1,4 juta orang, di depan mata kita, terusir begitu saja dari tanah mereka di Myanmar.
Konflik Palestina-Israel adalah konfil politik, dengan latarbelakang kepentingan yang bersilang-sengkarut tak berkesudahan. Di sana ada bisnis senjata. Ada perang pengaruh geopolitik. Bisnis ketakutan. Dls. Sepanjang kepentingan-kepentingan itu terus menghasilkan uang dan keuntungan, sepanjang itu pula konflik susah untuk diselesaikan.
Tapi optimisme bahwa konflik itu bisa selesai, justru datang dari “pejuang-pejuag” lain di luar tentara atau para politisi. Yakni seniman-seniman sebagaimana dari mereka film “Wajib” lahir, untuk memberi penjelasan dan pesan sesungguhnya: apa yang terjadi di Palestina.
Anda WAJIB menonton film-film seperti ini! Bukan memelototi tik-tok, yang bisa jadi, isinya hoax dan fitnah semata.
(*)