Suatu hari, enam tahun silam, gigi saya nyeri-nyeri. Sementara saya tinggal di Singapura, saya tidak bisa langsung ke dokter gigi karena dokter gigi saya jauh di Batam. Begitu kesempatan nyebrang ada, begitu di depan dokter gigi saya langsung ngomong; “dok, tolong dicabut lima gigi saya sekaligus!”
Saya ngotot. Dokter juga ngotot menolak. Tapi ketika itu saya bersikeras, saya merasa yang paling tahu tubuh saya ketimbang si dokter. Ini gigi-gigi, satu-satunya cara untuk tidak nyeri-nyeri lagi, ya harus dicabut. Saya tak mempertimbangkan hal-hal lainnya. Saya hanya ingin tidak lagi nyeri-nyeri gigi. Titik!
Memang, belakangan itu, saya sering nyeri sakit gigi. Usut punya usut, karena saya ketika itu keseringan berolahraga. Otot yang terlalu stress, kemudian membuat otot-otot lelah, tegang, dan berefek pada gigi. Kadang juga merembet menjadi sakit kepala. Setelah benar melakukan olahraga, plus pijit rutin sebagaimana saran seorang kawan yang berprofesi sebagai personal training instructor, nyeri-nyeri itu berkurang banyak, dan gigi saya tidak lagi pernah nyeri-nyeri.
Kembali ke dokter gigi. Setelah debat panjang, plus melakukan X-ray, dll, dokter menyerah. Menuruti permintaan saya. Tapi ia mau mencabut empat gigi sekaligus. Gigi-gigi yang sebetulnya masih sangat sehat. Tapi ya itu tadi, KESOKTAHUAN serta kengototan saya, itu yang membuat saya pada akhirnya menyesali keputusan “brutal” itu. Gigi saya jadi ompong. Kegiatan mengunyah terganggu. Ujung-ujungnya, ada rasa malu dan tidak percaya diri ketika ngobrol membuka mulut.
Setelah itu, saya memutuskan membuat gigi palsu. Habis Rp2.5 juta. Tapi tidak nyaman, dan itu gigi tak pernah saya pakai lagi. Mau pasang gigi permanen, mahalnya naudzubillah. Ndak mampu keuangan saya.
Setiap kali gosok gigi, saya terus saja menyesali keputusan “brutal” itu. Membodoh-bodohi diri sendiri. Tapi, pada akhirnya, saya kepikiran, ngapain berlarut-larut menyesal, tokh semuanya sudah terjadi. Kenapa ndak milih mencari “hikmah” lain dari keputusan bodoh itu?! Mencari hal-hal lebih positif?!
Dan ya, saya akhirnya bisa menemukannya:
Dengan gigi ompong, saya KINI selalu berusaha membatasi diri untuk tidak banyak bicara. Ya itu tadi, karena rasa malu dan tak percaya diri punya gigi-gigi ompong. Setiap kali ngomong dengan orang lain, saya berusaha ngomong secukupnya. Membuka mulut sekecil-kecilnya. Tentu saja, untuk menutupi keompongan saya.
KOndisi yang memang tidak nyaman sekali.
Tapi, lama-kelamaan, rasa malu itu berubah menjadi rasa syukur. Ketika saya tidak banyak ngomong, saya tidak banyak KESELEO lidah. Tidak banyak ngelantur. Tidak banyak berbohong. Tidak banyak ngoceh-ngoceh ngawur. Pada akhirnya, saya harus bersyukur, gigi ompong “menghindarkan” saya dari bahayanya lidah.
(silat) Lidah itu betul-betul berbahaya. Apalagi di jaman Youtube ini. Di jaman setiap orang punya HP yang bisa merekam kesalahan-kesalahan lidah kita saat berbicara. Ustad-ustad, kyai-kyai, penceramah-penceramah; atau siapa pun mereka yang profesinya mengandalkan “silat lidah”, seringkali terpeleset oleh kesalahan lidah mereka sendiri. Anda pembalap mobil, resiko terbesar tentu kecelakaan dengan mobil. Begitu juga Anda yang mencari uang dengan “jualan” lidah. Lidahlah potensi terbesar yang bisa mendatangkan resiko dan bahaya.
Kerapkali, mereka gagal mengendalikan lidah mereka. Apalagi ketika di hadapan banyak orang yang khusuk mendengar omongannya. Di hadapan umatnya, di hadapan jamaahnya; lidah-lidah itu seakan terus saja meronta untuk sehebat mungkin bisa membuat pengagumnya kian kagum. Sekalipun kata-kata kotor atau kebohongan yang keluar dari itu mulut, mereka tidak peduli. Di MOMEN itu, biasanya, di kepala para penceramah, yang penting orang yang mendengar omongannya, tergakum-kagum.
Mereka, BIASANYA selalu merasa malu dianggap bodoh! Hingga, terus saja mereka bersilat lidah untuk menyembunyikan keterbatasan pengatahuan mereka. Hingga…, pada satu titik, ketika bahan pembicaraan habis, terpelesetlah lidah mereka.
Mereka yang gagal menjaga lidah, jelas salah. Tapi, bagi saya, kita yang kerap memberhalakan mereka-mereka, memuji-muji mereka setinggi langit, sama salahnya. Karena “penyembahan” kita lah, mereka jadi manusia-manusia kurang ajar! Di Kitab Suci kita, banyak sekali mengingatkan bahayanya bersilat lidah, sekaligus tidak memberhalakan manusia.
Gigi ompong, ternyata bermanfaat juga! Hehe.