KARENA masih terbawa nuansa “Pulau Penang”, sekembalinya dari sana, saya minta ke istri untuk cari char kway teow. Yang enak ya! Pesan saya pada istri, setidaknya seperti di kedai yang kami kunjungi di Penang. Bukan char kway teow ala Singapura yang terasa tebal, berat, dan dominan kecap hitam itu. Saya ingin char kway teow yang ringan tapi lezat seperti di Penang. Senin (17/6) siang itu, bini kemudian mengajak saya ke Penang Culture, kedai makan di sebuah mall di daerah Serangoon yang bersertifikat halal.
Sulit mencari char kway teow halal di Singapura. Beberap bulan lalu, saya sempat makan char kway teow halal di daerah Bukit Merah yang bereputasi “wah” karena penjualnya mantan chef hotel berbintang, dan seorang China yang muallaf. Tapi saat makan, rasanya biasa saja.
Di Culture Penang, Senin itu, saya memesan char kway teow dan es cendol. Bini pesan kway teow kuah dan white coffee dikit gula. Hmm, boleh juga, bathin saya ketika sendok pertama char kway teow masuk ke mulut. Tapi tetap tidak bisa dibandingkan dengan char kway teow yang saya nikmati di Penang sebelumnya. “Rasanya masih terasa berat, terlalu asin, dan kurang seimbang,” saya mengungkapkan pendapat saya soal rasa char kway teow pada istri.
Di Penang, sepekan sebelumnya, kami menemukan sebuah kedai di sebelah kantor pemerintah Penang, yang ramai. Pengelolanya seorang Tionghoa muda yang ramah. Kedai buka sebentar saja, dari jam 8 pagi hingga 3 siang. Hari berikutnya, ketika kami datang lagi pada jam 3.15 sore, ia tidak mau melayani kami. Kedai tutup. Saya kecewa sekaligus gembira. Orang Tionghoa di Penang, bisa kerja nyante, bisa lebih menikmati hidup. Tidak kerja ngoyo sampai kaki jadi kepala, kepala jadi kaki; sebagaimana saudara-saudaranya di negeri tetangga. Saya kemudian berkunjung ke kedai sebelah, alhamdulillah kami masih diterima. Tapi seperti kedai char kway teow yang tutup, kedai itu juga segera tutup begitu kami selesai makan.
Orang China Penang memang terkenal agak nyante.
Ketika itu, kami berdua masing-masing memesan char kway teow, secangkir kopi putih, dan es cendol. Total habis 21 ringgit. Jika di Singapurakan dengan kurs sekarang, cuma S$6 untuk semua makan dan minuman yang kami berdua nikmati. Gila, pikir saya! Makanan senikmat ini, harganya cuma $6 dolar. Di Singapura, dengan uang segitu, Anda mungkin cuma bisa beli nasi ayam yang rasanya tidak ke mana-mana, serta secangkir kopi.
Kurs dolar Singapura ke ringgit yang mengkuat hingga menembus 3.5 kali, memang membuat apa-apa hal di Malaysia terasa murah bagi orang Singapura. Sopir Grab yang mengantar kami ke Bandara Penang, Jumat lalu bercerita, betapa beruntungnya orang Singapura, yang kurs duitnya begitu perkasa. Bisa beli apa saja ketika pelesir ke Malaysia. Pendapat sopir Grab itu memang tidak salah. Tapi, sebagai penduduk Singapura, saya merasa penguatan kurs dolar Singapura terhadap ringgit Malaysia tidak berpengaruh banyak di kehidupan sehari-hari. Harga sayur, buah-buahan, atau apa pun yang diimpor dari Malaysia, tetap mahal, bahkan kini terasa lebih mahal. Padahal, impor Singapura dari Malaysia nilainya mencapai 13.21 persen dari total impor keseluruhan. Hanya kalah 0,22 persen dari impor China ke Singapura. Seharusnya, secara teori kurs, saat ini, masyarakat Singapura bisa mendapatkan bahan pokok lebih murah.
Saya tak tahu kenapa? Kurs dolar menguat dari nilai mata uang negara-negara tetangga, tapi harga-harga kebutuhan tetap saja tinggi. Bahkan setengah tahun terakhir ini, terasa kian naik. Itu mungkin karena semua kebutuhan di Singapura, diimpor. Harus didatangkan dari negara lain. Ini berbeda dengan Malaysia, misalnya, yang bisa memenuhi segala kebutuhan mereka dari produk lokal. Tidak perlu impor.
Beginilah kenyataan hidup di kota yang tak punya apa-apa. Semua-semua tergantung negara lain. Semua-semua didatangkan dari luar. Semua-semua mahal. Berbahagialah Anda yang bisa memanen apa pun kebutuhan pangan dari kebun Anda sendiri.
Kembali ke kedai Culture Penang. Saya harus membayar S$35 untuk semua makanan yang kami berdua nikmati. Harga yang sebetulnya wajar untuk makanan Singapura. Namun kami baru pulang dari Penang, dan hanya membayar 21 ringgit atau S$6 untuk menu makanan serupa. Perbedaan bak langit-bumi yang membuat saya ingin berteriak sekeras-kerasnya pada dunia, “jiancuukkkkkk….”
Sepiring char kway teow bisa menjelaskan pada kita, bagaimana keras dan mahalnya kehidupan di Singapura. Sepiring char kway teow di Singapura, bisa menjelaskan pada kita, bahwa Anda dilarang hidup bermalas-malasan di sini! Anda dilarang boros! Anda dilarang hidup penuh gengsi!
Kalau sudah begini, masih Anda bermimpi ingin tinggal di Singapura? Sebaiknya batalkan saja!
Keterangan foto: seporsi char kway teow yang saya nikmati Senin kemarin di Culture Penang.
(*)