: Asyik ber-Bahasa dengan pemahaman kontekstual.
Tahukah Anda, kata “Mukidi” sudah populer di kalangan profesi makelar sepeda motor/mobil di Malang sejak tahun 90an? “Di… Mukidi…” biasanya dipakai para makelar untuk mengejek kawannya yang pelit, yang ndak mau bagi-bagi komisi, yang ndak mau kasih informasi menguntungkan. Ejekan “Mukidi” itu, biasanya terlontar dalam nuansa guyon. Bercanda. Menyenangkan. Agar orang yang diejek tidak sakit hati.
Saya tahu, karena seorang paklik saya adalah makelar, dan nyaris saban hari di rumah nenek yang saya tempati, paklik dan kawan-kawan makelarnya nongkrong. Saling bercanda, mengejek, hingga bagi-bagi rejeki. Namun, kata “Mukidi”, tak kemudian menjadi ejekan “baku”. Kadang kata itu berkembang menjadi banyak varian. Seperti menjadi “Di… Di…, Paidi…”, “Lo…, Lo… Kartolo”, “mak… Blontang…” dan sejumlah varian sekenanya yang muncul di kepala si penutur. Mereka menuturkan itu semua, tidak memakai rumus tertentu, acak, asal comot, namun biasanya kata yang terpilih punya notasi yang enak ketika diucapkan.
Orang yang kebetulan punya nama “Mukidi” atau “Paidi”, atau semua pelaku makelaran yang memakai kata itu, jelas tak boleh marah. Dan mereka semua tahu, itu aturannya! Tidak boleh emosi! Tidak boleh ada yang ngamuk, apalagi sampai main bakar-bakaran.
Begitulah kata, Bahasa; MENEMUKAN ADAPTASINYA di lingkungan penutur tertentu. Bahasa itu bukan Matematika, atau ilmu Fisika; yang saklek punya rumus tertentu. Bahasa TIDAK BISA dijelaskan hanya dari sisi tekhnis linguistiknya. Lebih dari itu, TERPENTING Bahasa harus dilihat lewat kacamata kultur. Konteksnya. Siapa yang menuturkan, dari mana dia berasal, bagaimana tingkat pendidikannya; semua itu mempengaruhi penggunaan Bahasa si penutur. Bahasa mempunyai keunikan, serta tumbuh khas di antara kultur masyarakat penuturnya.
Kata “jancuk” adalah contoh yang paling populer untuk menjelaskan kenapa di JAMAN EDAN ini, Bahasa HARUS lebih dipahami dari sudut kontekstual. Jika misalnya saya misuh “jancuk…” di depan preman-preman Terminal Bus Bungurasih Surabaya, mungkin saya pulang “tinggal nama”. Digebuki hingga klenger, bahkan bisa sampai “is death”.
Tapi, begitu saya ketemu dengan kawan kecil, kemudian mengatakan, “jancuk… kowe! Gak tau kabar-kabari”, itu menandakan bahwa saya dengan kawan kecil adalah sahabat karib.
Coba perhatikan, bahkan kata umpatan “jancuk” saja, sudah punya arti yang begitu berbeda, dan menimbulkan akibat yang berbeda pula. Tergantung di mana dan siapa yang memakainya. Bahkan, tak jarang, tergantung suasana hati pemakainya. Seorang yang sama, dengan lawan bicara yang sama, akan berbeda pula ketika mengatakan “jancuk…” ketika keduanya sedang gembira atau sedang saling marah,
Di dunia yang kian emosional dengan banjir informasi yang gila-gilaan ini, salah satu cara terbaik untuk hidup damai, menyenangkan, dan cerdas adalah dengan memahami Bahasa. Memahami konteks sebuah Bahasa!
Asyik berbahasa, asyik pula Anda jadi manusia!
Ilustrasi nyomot di mbah Google!