ADA rasa tak biasa, ketika Selasa (25/2/2025) pagi, saya mengenakan sepatu lari, hendak jogging. Kok longgar banget? Pikir saya. Padahal sepatu lari saya ikat dengan simpul tali mati sesuai ukuran kaki. Jadi, ndak mungkin berubah sedemikian longgar tanpa sebab. Saking longgarnya, saya sampai harus bundeli lagi simpul tali matinya hingga lebih pendek sekitar satu senti. Sambil berjalan keluar rumah, saya bingung, apa yang terjadi?
Memang sih, nyaris tiga pekan saya stop lari. Itu setelah hamstring saya cedera ketika main bola. Sebetulnya itu persoalan biasa, dan biasanya pula, esok harinya pun saya masih bisa main bola atau jogging lagi. Tapi kali ini cedera cukup parah. Saya stop segala olahraga agar kaki benar-benar pulih. Sabtu kemarin, ketika “terpaksa” main bola, saya memilih jadi penjaga gawang saja. Sabtu itu pula, sebetulnya saya juga sudah curiga, sepatu bola saya rasanya kok sangat kebesaran?!?! Tapi kecurigaan itu tak saya gubris. Saya berpikir, mungkin salah pilih kaos kaki saja.
Pulang jogging, saya perhatikan seksama ini kaki ketika melepas sepatu. Eureka!!! Ada yang berubah dari bentuk telapak kaki saya. Aneh. Hmmm…, telapak kaki saya kini kok jadi agak langsing dan tonjolan urat-uratnya muncul di mana-mana? Jari-jari kaki saya juga lebih tirus. Telapak kaki bagian bawah terasa kian tipis, namun terasa lebih stabil. Perubahan ini, pasti, yang membuat sepatu-sepatu saya serasa longgar. Ketika mandi, saya malah mendapati hal yang lebih mengejutkan, pecah-pecah di tumit yang sebelumnya ada dan banyak (mungkin karena usia an kesukaan jalan kaki), kini nyaris hilang. Kini, tumit saya jadi bagus lagi.
Saya kian bingung, kenapa bisa berubah begini, ya? Atau jangan-jangan, perubahan ini karena saya memakai sepatu barefoot?(sebelumnya saya menulis tentang alas an memakai sepatu barefoot di sini: https://www.facebook.com/photo/?fbid=10162071484998444&set=a.10150109465563444)
Hari ini, memang genap satu setengah bulan saya memakai sepatu jenis barefoot. Rata-rata, tiap hari, saya jalan kaki sekitar 5-8 kilometer. Sebetulnya, tidak ada aktivitas yang berbeda, sebelum atau saat memutuskan memakai sepatu barefoot. Jalan kaki tiap hari, ya, kira-kira sama jauhnya. Saya juga tidak diet atau melakukan apa yang bisa mengubah tubuh saya.
Selain perubahan bentuk kaki, masalah sakit di kedua tumit saya kini sudah hilang. Tinggal sedikit sakit di engkel kanan, serta hamstring yang memang saya dapat dari sepakbola.
Perubahan telapak kaki saya menjadi langsing itu, tiba-tiba mengingatkan saya pada sekeluarga China yang menyewa rumah bibi saya, di dekade 90an. Warga Desa Tawangargo, Karangploso, Malang, yang berusia 40an lebih, pasti tahu tentang keluarga ini. Mereka tinggal di Dusun Leban, menyewa rumah di pinggir jalan raya Karangploso-Batu, dan ketika itu membuka satu-satunya tempat hiburan di desa itu, yakni tempat billiard. Sekaligus warung makan. Saya yang saban liburan sekolah tinggal di rumah bibi, kerap bertemu keluarga ini, karena memang bertetangga.
Sekeluarga China dengan tiga anak itu unik. Bapak-ibunya berperawakan besar, bongsor, sangat kelebihan berat badan. Dua anaknya punya perawakan serupa dengan kedua orangtuanya. Hanya satu, seorang gadis yang kira-kira seusia saya, yang punya penampilan berbeda. Ia langsing dan cantik. Ia berambut panjang. Ia menarik. Sialnya, seumur-umur dia tak pernah memakai alas kaki. Kecuali ketika sekolah; dipastikan kapan pun, entah itu pagi, siang, malam, ia tak pernah pakai sandal, apalagi sepatu. Ke pasar, main di jalan aspal, naik mikrolet, atau lari-lari di sawah, ia tetap tak mau pakai sandal. Satu kali pernah saya melihat, ia berlarian di jalan dusun yang penuh batu-batu tajam, dengan nyamannya tanpa alas kaki. Saya saja, yang juga kerap nyeker, tak senyaman itu lari di atas kerikil-kerikil.
Ibunya pernah bercerita, si gadis memang sudah tak mau pakai alas kaki sejak balita. Kebiasaan itu terus berlangsung hingga ia remaja. Padahal anak-anaknya yang lain tidak ada yang punya kebiasaan demikian.
Di jaman itu, saya sendiri juga lebih gemar tidak pakai alas kaki ketika bermain. Misalnya pergi ke kebun-kebun, sawah, atau main bola di lapangan. Tapi, tetap saja sandal selalu terpakai. Apalagi ketika petang setelah mandi, sandal akan terpakai untuk aktifitas seperti pergi ngaji atau ke musala. Tapi tidak untuk gadis China itu. Bahkan seusai mandi petang pun, ia akan tetap keluar rumah tanpa alas kaki.
Kala itu, bagi saya, gadis China tanpa alas kaki itu adalah sesuatu yang kontradiksi. Apalagi ketika ia bersama seluruh anggota keluarganya. Ia menjadi satu-satunya anggota keluarga yang langsing dan menarik, namun juga sedikit “menjijikkan” karena ketidakmauannya memakai alas kaki. Kakinya “nggedebul” kotor. Padahal ketika itu, saya agak naksir dia. Hehe.
Kembali ke perubahan kaki saya, setelah juga “bertelanjang kaki (bukankah barefoot bisa diartikan bertelanjang kaki)” selama sebulan setengah. Jangan-jangan, karena itu kaki saya berubah menjadi langsing, sebagaimana gadis China yang menyewa rumah bibi saya?!?! Jangan-jangan pula, rahasia orang-orang jaman dulu sehat-sehat, tidak punya penyakit macam-macam, serta panjang umur; karena mereka terbiasa jalan kaki tanpa alas kaki. Nenek saya, Rafiah, yang meninggal sekitar umur 85 tahun, dan nyaris tak pernah sakit macam-macam (kecuali pegel linu dan pusing), juga terbiasa banyak jalan kaki dengan tanpa alas kaki. Kalaupun beralas kaki, biasanya jenis bakiak.
Ayo, rame-rame bertelanjang kaki! Siapa tahu dugaan saya benar, bisa membuat langsing tubuh! Bisa membuat sehat! Tapi tentu saja, syaratnya, bertelanjang kaki dan banyak jalan kaki! Bukan bertelanjang kaki, lalu mapan tidur sambil mentelengin HP.
(*)