Bak ledakan bom di pagi yang cerah, ketika Tante Dede menyeret saya ke pojok kedai miliknya dan mengungkapkan keinginannya beralih profesi. Berpolitik.
”Tante kira, inilah saat yang tepat untuk melakukannya. Mumpung atmosphere (dia mengucapkan kalimat ini fasih sekali) politik sedang panas-panasnya,” Tante Dede membuka pembicaraan.
Bagaimana tidak terperanjat, seumur-umur, adik semata wayang ibu saya ini hanya mengenal dunia dapur dan sekitarnya. Jika ditanya fluktuasi harga cabe keriting, bawang merah, sayur mayur, atau beras impor, saya yakin dialah jagonya. Atau ketika diminta bicara soal gas elpiji yang tiba-tiba sulit didapat hanya karena isu kenaikan harga, tahun depan.
Tapi, kini, Tante Dede hendak meninggalkan semua yang dikuasainya untuk terjun ke dunia politik.
”Ada yang janggal dengan rencana tante, Nang?” Tanyanya ketika saya tidak juga bersuara. ”Okelah, tante mengerti, keinginan tante ini sepintas mustahil. Mungkin konyol? Jangankan masuk partai, ikut organisasi pun seumur-umur tante belum pernah. Tapi kali ini tante harus melakukannya! Harus!”
”Bagaimana dengan warung tante?” Saya bertanya. Nasib warung lah yang saya khawatirkan. Bagaimanapun, semenjak Oom Dede meninggal tiga tahun silam, praktis Tante Dede menggantungkan hidupnya untuk membiayai lima anak-anaknya yang kesemuanya masih duduk di bangu sekolah.
”Tante rasa Si Uprit sudah bisa tante percayai untuk mengelolanya. Sudah limabelas tahun ia ikut tante. Setidaknya ia bisa membedakan mana kubis yang dalamnya busuk atau tidak,” sergah tante. Uprit adalah pembantu keluarga besar sejak 25 tahun belakangan. Sebelum kemudian Tante Dede memintanya untuk membantu membuka kedai nasi.
”Mungkin tante tak perlu menjelaskan seperti apa dunia politik sekarang ini. Nanang jauh lebih tahu, tante pikir. Harus ada yang mulai membenahi politik, Nang! Dan tante rasa, tante bisa.”
Seketika meledaklah tawa saya. Setan mana yang membisiki telinga tante tercinta ini hingga sanggup melontarkan pernyataan ini. Kalau berbicara soal rasa sambal yang paling aduhai lezatnya, mungkin Tante Dede jagonya. Tapi ini politik bung! Dan, tiba-tiba di kepala saya, mengiang-ngiang ratusan statemen orang-orang politik yang biasa saya baca di koran-koran. Kira-kira mirip-mirip dengan apa yang diungkapkan Tante Dede. Ujung-ujungnya, ketika nama mereka sudah diberi embel-embel “Yang terhoramat politikus”, yang ada di kepala mereka adalah bagaimana mendapatkan ruko gratis. Untuk kemudian dijadikan tempat kos-kosan.
”Ini politik, Nte! Yang seumur-umur justru tante meyakini, politik itu kerjanya cuma ngibulin orang-orang seperti tante.”
”Maka dari itulah, tante tidak ingin dikibuli lagi!”
”Ingin ganti ngibuli?”Masih belum hilang tertawa saya. ”Setidaknya tante memanggul tujuan mulia!”
”Politik itu mahal, Nte! Juga licik, banyak musuh, tanpa belas kasihan! Apalagi dengan tujuan mulia…”
”Aku sudah memikirkan semua resikonya!”
”Tante tak akan sanggup melakukannya!”
”Jangan sepelekan kemampuan tante!” Tegas suara Tante Dede.
”Selama kaum wanita merasa nyaman ditraktir laki-laki, selama itu saya tak percaya dengan yang namanya feminisme!” Feminisme? Okelah! Saya yakin, ketika berbicara masalah kemampuan wanita, Tante Dede akan langsung mengaitkannya dengan feminisme. Hal yang belakangan ini menjadi perhatiannya di sela-sela kesibukannya menyiapkan dagangannya. Meskipun hanya lewat koran dan majalah.
Lama Tante Dede tak bersuara. Mungkin jengkel dengan keragu-raguan yang saya perlihatkan semenjak pertama. Mungkin kecewa, obrolan kali ini bukannya menjadikan pembicaraan menawan, justru terkesan saya mengolok-oloknya. Atau mungkin, justru ragu dengan tujuannya semula.
Sebetulnya, saya mahfum ketika tante tertarik dengan politik dan mengungkapkan keinginannya untuk terjun ke dalamnya. Karena, hampir tiap hari, Tante, dengan kemampuannya yang mengagumkan dalam bergaul dengan pelanggan, banyak mendapatkan informasi penting soal dunia politik kota. Letak warungnya yang strategis dan masakan yang terkenal enak, menjadikan tempat ideal bagi deal-deal politik para politikus kota. Dan, tentu saja pergaulan dengan orang-orang politik.
”Sebenarnya tujuan tante sederhana saja. Tante ingin berjuang agar harga cabe ditekan serendah-rendahnya.” Kata-katanya menyergap lamunan saya. Terkejut untuk kali kedua.
”Maksud tante?”
”Karena, menurut tante, cabe lah yang membuat politik sedemikian bobroknya! Membuat politikus terlupa dengan asal usulnya!”
”Lho?”
”Bertahun-tahun tante memerhatikan, ketika harga cabe melambung dan terpaksa tante kurangi rasa sambel tante, saat itu pula, muncul kebijakan-kebijakan brengsek dari politikus-politikus yang biasa ngendon makan di warung tante!”
”Saya rasa mereka bisa membeli berapa pun tingginya harga cabe! Lha wong sekarang, ketika bensin melambung, mereka malah berlomba ngoleksi mobil mewah?”
”Masalahnya, mereka terbiasa makan di warung-warung makan atau restoran sambil ngobrol mana obyekan yang bisa dicairkan!”
”Jadi?”
”Jadi, jika harga cabe murah, atau bahkan gratis sekalipun, pemilik-pemilik warung seperti tante bisa membikin sambal paling enak untuk mereka.”
”Trus?”
”Trus, biar mereka bisa kekenyangan makan!”
”Lalu?”
”Lalu, setelah makan dan kekenyangan, biar mereka langsung ketiduran. Agar tak ada pembicaraan-pembicaraan soal bagaimana ngibulin orang-orang seperti kita!”
”Kalau kerjaannya cuma tidur, ngapain mereka kita bayar?”
”Setidaknya mereka lebih tidak bahaya jika dalam keadaan tertidur!”
Batam, minggu pertama Desember