Sultan Yohana
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
Sultan Yohana
No Result
View All Result
Home Catatan Lepas Tentang Aku

Kisah Cinta Dua Singa (11)

Sultan Yohana by Sultan Yohana
January 7, 2008
in Tentang Aku
0
0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

: Presiden Layangan dan belut buruan

Dari kepulangan tak biasa kemarin, Nak, telah melemparkan bapak pada sebuah kenangan akan masa kanak-kanak. Beberapa waktu lalu bapak sudah pernah bercerita bagaimana bapak dengan susah payah dilahirkan oleh nenekmu Zumronah. Kini, bapak akan menguliti sedikit demi sedikit kisah tentang rekahan kulit betis mungil bapak yang merompal panjang karena daki yang begitu tebal. Ketika bapak membocah.

Kami biasa menyebut daki sebagai bolot, satu kotoran yang tentu saja tak pernah kau peroleh karena tempatmu bermain kini tak cukup kotor. Ataupun kalau kau bermain lumpur, atau apalah yang bisa menciptakan bolot, cepat-cepat ibumu pasti segera membasuhnya dengan sabun berbusa wangi non-bakteri. Bapak dulu, harus mengumpulkan daun lamtoro sebagai pengganti sabun. Mandi di gerojok mata air yang paling menyegarkan. Di antara canda dan tawa bocah desa. Setelah bolot kami gasak dengan remasan daun lamtoro, kami masih harus menggosoknya lagi dengan sebongkah batu gosok yang kami buru di pinggir-pinggir kali. Kadang kami menggosok terlalu keras hingga menghasilkan luka berdarah. Tapi tidak mengapa, asal bolot dapat terangkat, dan mulut nenekmu Zumronah merekah senyum melihat kaki bapak ini yang sedikit bersih ketika pada petang hari bapak pulang.

Daki atau bolot yang biasa memenuhi betis, lengan, bahkan ceruk-ceruk di leher; bapak biasa peroleh dari seharian menendang bola di lapangan berdebu. Atau becek ketika hujan. Bapak juga kerap memanen bolot setelah sesiangan berada di bawah terik matahari, menunggu layang-layang yang putus. Berkejaran dengan kawan, berlomba mendapatkan layangan meski kami harus menerjang lumpur sawah setinggi paha. Nikmat sekali, ketika itu Kenny! Bapak yang ketika itu bertubuh kurus, kecil, dan hitam, selalu kalah berebutan dengan rekan-rekan yang lain yang lebih perkasa. Terutama dengan Mukhsin, si presiden layang-layang.

Mukhsin? Bagaimana kini kabar kawan satu ini? Masih setia kah bermain layang-layang? Terakhir bapak ketemu dia sesaat sebelum bapak merantau ke Batam, 2002 silam. Dia yang ketika itu adalah pemuda ganteng berhidung mancung dengan jambang bulu bambu di seputar mulutnya, masih tetap mencintai layang-layang.

Ada secuil cerita kenapa Mukhsin kami juluki sebagai “presiden layang-layang”. Tentu saja karena keahliannya beradu sambit layangan aduan. Juga kepiawaiannya mengejar layang-layang yang putus. Tidak seperti bapak yang harus menunggu di tengah pematang dengan berteman matahari di atas kepala, Mukhsin hanya duduk mematung memperhatikan dua layang-layang yang beradu sambit. Memperhitungkan arah angin dengan seksama. Dan segera berlari manakala ada sebuah layang-layang yang putus. Matanya yang tajam dan seolah tanpa pernah berkedip, memilih menelusuri sisa benang layang-layang yang putus ketimbang layang-layang itu sendiri. Ketika kami dengan perasaan gegap gempita berebut layang-layang yang sudah berada beberapa meter dari atas kepala kami, tiba-tiba layang-layang itu mengudara kembali. Di belakang kami, dengan gembiranya Mukhsin berteriak telah mendapatkannya. Ia tangkap itu benang, dan sirnalah mimpi kami membawa pulang layang-layang.

Ini tentu sangat menjengkelkan. Tapi bagaimanapun juga, Mukhsin adalah yang terbaik untuk semua urusan tentang layang-layang. Bapak harus mengakuinya. Terakhir, beberapa kejuaraan layang-layang tingkat kabupaten Mukhsin menangi. Julukan “presiden layang-layang” semakin menemukan pembenaran. Ia juga kemudian menjadi pengrajin layang-layang. Merek layangannya bahkan, cukup diakui sebagai layang-layang yang paling perkasa untuk aduan.

Selain Mukhsin, orang yang menjengkelkan kami adalah Wak Senan. Dia pemilik beberapa petak sawah. Kejamnya naudzubillah – semoga amal ibadahnya diterima – Tapi kesan kejam itu kami tancapkan ketika kami belum bisa berpikir, bahwa Wak Senan melakukan semua hal yang menjengkelkan kami karena dia melindungi kepentingannya. Kenakalan bapak dan kawan-kawan, memang kerap membuat rusak padi milik Wak Senan yang baru disemai. Atau, kaki-kaki brangasan kami yang tanpa kompromi merangsak kuningnya padi saat mengejar layang-layang yang jatuh di tengah sawah, membuat rontok ribuan butir padi yang siap dipanen. Itu tak kami perhitungkan. Ketika itu, yang kami tahu, Wak Senan dengan ketepel dan celurit di tangannya, sanggup membuat kami lari tunggang langgang.

Teriakan-teriakannya untuk mengusir kami, bagai suara harimau yang tiba-tiba muncul dari rerimbunan semak, untuk menerkam kelengahan kami. Wak Senan, dengan benjol sebesar bola pingpong di dahinya – yang kabarnya didapat dari sebuah peluru ketepel lawan ketika muda – terasa begitu menakutkan bagi bapak dan kawan-kawan bapak ketika itu.

Tapi musim layang-layang tidaklah datang sepanjang tahun. Setahun, bapak hanya bisa menikmati serunya berburu layang-layang putus antara bulan April hingga September. Ketika hujan jarang datang; ketika angin mengencang; dan musim panen diteruskan menanam padi tiba. Di saat itulah daki-daki di betis bapak semakin tebal. Tiap berangkat ke sekolah, bapak terpaksa harus membasuhkan minyak goreng di kaki bapak yang berdaki, agar rekahan-rekahan yang memalukan itu tersamar. Kaos kaki bapak tidak cukup panjang untuk menutupi rekahan itu. Dan setelah musim penghujan datang, giliran belut yang kami sasar. Perburuan belut sama mengasikkan dengan mengejar layang-layang.

Belut adalah makanan penuh gizi yang orang Jepang gemari. Bapak tidak terlalu menggemari, sebenarnya. Tapi, asyiknya berburu belut adalah kelezatan lain yang jauh lebih ingin bapak cari ketimbang menikmati potongan-potongan daging-daging belut yang gurih itu. Setiap kali menyantap daging belut hasil tangkapan, setiap kali pula ingatan bapak tercerabut saat bersitegang dengan belut, menarik mereka keluar. Membanting cepat-cepat tubuh belut di pematang kering hingga sekarat. Untuk kemudian mengumpulkannya dalam satu ikat temali dari jerami muda yang kuat. Setiap kali bapak mengingat adegan per adegan itu, setiap kali pula hilang selera bapak memakan gurihnya daging belut.

Berburu belut menciptakan daki yang lebih tebal di kaki-kaki kami. Tapi apalah arti sebuah daki ketimbang kenikmatan yang kami peroleh di waktu bocah. Sangat nikmat. Dan bapak minta maaf, belum bisa mengajari kamu untuk mengejar layang-layang atau berburu belut. Maafkan bapak, Kenny!

Sultan Yohana

Sultan Yohana

Related Posts

Merencanakan Pensiun
Tentang Aku

Merencanakan Pensiun

November 1, 2023
Gigi Ompong dan Penyesalan yang Berhikmah
Tentang Aku

Gigi Ompong dan Penyesalan yang Berhikmah

April 30, 2023
Dari Gudig hingga Rebutan Cewek
Tentang Aku

Dari Gudig hingga Rebutan Cewek

October 10, 2017
Next Post

Soeharto yang Setan Merah

Ken, Atawa Kisah Cinta Dua Singa

Ken, Atawa Kisah Cinta Dua Singa

Ah Meng dan Lubang Jalan

Ah Meng dan Lubang Jalan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Me

Rekomendasi

Kisah dalam Sepiring Char Kway Teow: dan perbedaan melangit antara dolar dan ringgit

Kisah dalam Sepiring Char Kway Teow: dan perbedaan melangit antara dolar dan ringgit

11 months ago
Kisah Sebuah Sepeda Pancal

Kisah Sebuah Sepeda Pancal

1 year ago
Ken, Atawa Kisah Cinta Dua Singa

Ken, Atawa Kisah Cinta Dua Singa

17 years ago
Tentang Nafkah Halal

Tentang Nafkah Halal

10 years ago

Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.

Kategori

  • Batam
  • Bolaisme
  • Catatan Bola
  • Catatan Lepas
  • Catatan Publik
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
  • Humaniora
  • Indonesiaku
  • Jurnalisme
  • Kultur
  • Ngalor Ngidul
  • Politisasi
  • Review
  • Sastra
  • Singapura
  • Tentang Aku
  • Video

Topics

Abdul Gofur Air minum Alas kaki Batam Bule Catatan Cerita Dollar Efisiensi Ekor panjang Fasilitas Foto Gadis China Gaji Honor Humaniora Indonesia Jatim Johor Karyawan Kedai Kucing Kurs Mahal Malang Malaysia Masjid Menteri Monyet Mudik Pengemis Photo Premanisme rasa singapura Rezeki Rupiah Sejarah Sepakbola Sepeda Singapore Singapura Taipei Taiwan Tanjungpinang Warung
No Result
View All Result

Highlights

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Kucing-kucing Mudik

Pintarnya Johor Mendulang Untung dari Singapura

Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki

“Seteguk Air Dingin”: dari budaya baik bule di Singapura

Trending

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme
Catatan Lepas

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

by Sultan Yohana
May 26, 2025
0

SAYA membaca laporan Majalah Tempo pekan ini, "Oke Gas, Hercules". Tentang premanisme, terutama tentang sepakterjang Herkules dengan...

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

May 19, 2025
Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

May 13, 2025
Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

May 3, 2025
Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

April 20, 2025
Sultan Yohana

© 2023 Sultan Yohana

Kunjungi Juga

  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Kontak

Ikuti Saya

No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek

© 2023 Sultan Yohana