: Ken Danis Yohana Chua
Ken, tentu kau ingin mendengarkan kisah bagaimana bapak dan ibu singamu berbagi cinta. Ya, bapak ingat Le, hari itu 10 September 2002. Sebuah telepon dari seorang rekan mampir di telepon rumah Singosari. Dari kawan kuliah bapak.
“Bollywood…,” begitu kelak ibumu menjuluki kawan bapak yang satu itu. Karena menurut ibumu, tampang dan perawakan kawan bapak itu, habis-habisan kayak artis-artis film India. Tampang boleh seperti Sakhrukh Khan, tapi hatinya pyur sosialis komunis.
Di teleponnya, Bollywood… eh, Suroso, minta bapak sore itu datang ke Auditorium IKIP Malang. Tempat bapak kuliah. ”Ini pertunjukan perdanaku. Kau harus nonton! Aku butuh kritikmu,” kira-kira begitu kalimat Suroso di telepon. Ya, malam itu Suroso dan teater Sastra Inggrisnya akan mementaskan naskah Antonius, pahlawan Romawi yang kekasih gelapnya Cleopatra itu. Dan Bapak datang, karena perkawanan adalah sesuatu yang indah seperti halnya sebuah cinta. Tapi maaf Ken, sejak bapak merantau ke Batam akhir tahun 2.002 silam, hubungan bapak dengan si Bollywood terputus. Jadi, tak bisa menceritakan lebih banyak hal tentang dia.
Kembali ke malam 10 September, Ken. Di keremangan ruang Auditorium, Dua langkah di depan tempat duduk bapak, samar-samar bapak lihat seorang yang tampil berbeda dari kebanyakan penonton. Bermata sipit, berkulit putih, dengan rambut tergerai sepantat. T-shirt merahnya – belakangan setelah pertunjukan usai dan seluruh penonton keluar – bertuliskan band asal Inggris: Oasis. Dan bapak, ketika itu, tidak peduli apa-apa selain deraan kebosanan yang melanda ketika melihat pertunjukan berbahasa Inggris itu.
Dua jam kemudian pertunjukan bubar. Ada kisruh dikit seusai pertunjukan. Seorang aktor ngamuk-ngamuk ke wanita berkaus Oasis itu, sembari menuding-nuding sangka, bahwa wanita itu saat pertunjukan tadi mengganggu konsentrasinya. Bahwa wanita itu adalah orang yang meneriaki ejekan-ejekan ke artis itu. Tapi sekali lagi, bapak tidak peduli. Bapak tidak kenal keduanya. Lagipula bapak merasa, artis itu memang layak mendapat umpatan.
Seorang kawan yang lain menyapa bapak ketika bapak hendak keluar ruangan. Wukir namanya. Kepada bapak, dia memperkenalkan seorang wanita. Yang ternyata, diancok, wanita berkaus merah tadi. ”Joanne, sukarelawan Singapur (a),” kata Wukir memperkenalkan wanita itu. Kami, kemudian saling berjabat tangan, saling senyum. Berikutnya, tidak ada apa-apa selain bertukar nomor telepon.
Dan Suroso yang belakangan muncul dengan make up masih menebal di wajah, buru-buru minta maaf ketika melihat aku dan wanita itu berkawan. ”Sorry Jhel klakuane koncoku maeng nang koncomu,” kata Suroso dalam bahasa Jawa. Untuk kutipan ini bapak tak mau menulis dalam bahasa Indonesia, Ken. Karena bapak ingin kau bisa berbahasa Jawa. Berbahasa singa.
Bapak pikir, Suroso tak perlu minta maaf.
Tahukah kau Ken Danis, wanita berkaus merah itu, singa itu, adalah ibumu. Dan inilah sekelumit kisah awal pertemuan dua singa.