: Penyapu jalan bernama Pak Kadir
Umurnya sudah 79 tahun, setidaknya begitu pengakuan Pak Kadir pada saya. Tiga di antara penyapu kebersihan di lingkungan tempat tinggal saya di Ang Mo Kio, Singapura, Pak Kadir lah yang paling menarik perhatian. Dua lainnya, satu seorang Tionghoa tetangga saya, dan satu lagi, pakcik Melayu yang mulutnya selalu tidak pernah lepas dari kepulan asap rokok. Menariknya, ketiga-tiganya berusia di atas 70 tahun.
Alhamdulillah, ketiganya cukup akrab dengan saya. Saya terkadang menghampiri mereka untuk sekedar “say hallo” atau ngobrol ala kadarnya. Tanya-tanya kabar, atau apa saja yang membuat mulut saya dan mereka bicara. Anak-anak saya, juga selalu “saya paksa” menyapa jika pas berpapasan dengan mereka. Karena saya orang Indonesia, dan inilah “cara Indonesia” yang saya tahu untuk bertegur sapa.
Pak Kadir dan dua rekannya, mereka bertanggungjawab untuk kebersihan “ala kadarnya” di enam blok di lingkungan kami. Kenapa saya sebut “ala kadarnya”, karena sebetulnya pihak town council (baca: kelurahan) tidak butuh-butuh mereka amat. Saya menduga, mereka dipekerjakan agar mereka tetap bisa beraktivitas, sekaligus bisa dapat pemasukan.
Ada setim tenaga muda tukang bersih asal Bangladesh/India yang 24 jam berjaga membersihkan lingkungan. Ada alat-alat kebersihan canggih seperti street sweeper yang juga beroperasi. Lucunya, setiap kali Pak Kadir selesai menyapu tempat parkir, berikutnya giliran alat street sweeper bergerak; menyapu seantero tempat parkir tak sampai 30 menit beres.
Hal yang menjadikan perhatian saya berlebih atas Pak Kadir, adalah cara jalannya. Meski tubuhnya terkesan gagah dan berisi, namun kedua lututnya tidak bagus. Buruk sekali. Kedua lututnya harus dibebat-bebat dengan kain agar bisa kuat jalan. Langkahnya juga sangat pelan, diseret. Balita yang baru jalan saja, mungkin lebih cepat jalannya ketimbang Pak Kadir. Ia mendapat tanggungjawab menyapu lahan parkir memanjang sekitar 200meter. Itu saja.
Gajinya 60 dolar per hari. Berangkat dari rumahnya dengan menumpang bus umum di daerah Sengkang selepas subuh, setengah jam kemudian dia sampai. Sekitar pukul enam pagi (jam 5 WIB) dia memulai menyapu. Kelar sekitar pukul sepuluh atau sebelas pagi. Dia selalu tidak langsung pulang, begitu pekerjaan beres. Sembari menunggu keringat kering, Pak Kadir biasanya duduk-duduk, kadang sendiri, kadang dengan orang. Seperti pada Selasa (24/10) itu, saya menyapanya saat ia baru kelar dengan kerjanya.
“Kok kulit bapak agak kekuning-kuningan?” tanya saya sembari memperhatikan seputar telinga dan hidungnya.
“Iya dek, bapak agak sakit memang.” Ia kemudian menunjukkan dua botol pil yang dibungkus kresek kuning dari tas sandangnya. Pil yang menurutnya, diperoleh dari rumahsakit. “
Pak Kadir, sebetulnya tidak perlu bekerja. Ia mengaku bisa tinggal dengan salah satu dari tiga anaknya, sekedar bekerja menjaga cucu, misalnya. Salah satu anaknya, menurut Pak Kadir, berprofesi sebagai polisi. Tapi ia mengaku tak mau merepotkan anak-anaknya. Ia juga tak mau hanya duduk-duduk saja. “Kalau nak exercise, tubuh ini tambah sakit-sakit,” katanya.
Ya, selain bisa tinggal bersama anak-anaknya, Pak Kadir sebenarnya tak perlu khawatir tentang keuangannya. Ia bisa meminta bantuan pemerintah, menjelaskan kondisinya, untuk kemudian tiap bulan urusan keuangan, kesehatan, plus apa pun bisa ditalangi pemerintah. Seperti banyak tetangga-tetangga saya yang berusia tua, yang begitu.
Tapi, Pak Kadir sepertinya sosok “manusia berkelas” yang sudah jarang ditemui di jaman sekarang ini. Yang tidak ingin menyerah dengan usia tua dan lemah tubuhnya. Ia juga bukan sosok pengeluh atas kondisinya. “Bapak tak ingin seperti kawan-kawan bapak tu… (yang) tiap hari duduk ngerokok sambil minum. Trus matanya begini.. (menunjukkan ekspresi melotot) kalau lihat perempuan pake celana segini (tangannya menunjukkan ke pahanya),” Pak Kadir memb
eri penjelasan.
Sehat selalu Pak!
Foto pertama, Pak Kadir sedang bekerja, foto kedua, street sweeper bekerja, mengulang pekerjaan Pak Kadir.