JIKA tim sepakbola yang saya gabungi di hari Sabtu didominasi orang India, tim veteran hari Minggu dan tim mahasiswa kebanyakan orang China, tim di foto ini lain lagi. Saya baru bergabung sekitar dua bulan dengan tim yang didominasi orang Melayu ini. Mereka kerap mengajak saya main setiap kali ada laga persahabatan, dan di waktunya tak pernah sama. Kadang Sabtu siang, bisa Minggu pagi, atau malah Jumat sore. Bahkan bisa Selasa hampir tengah malam. Skil mereka, terutama yang muda-muda, keren-keren. Sialnya, begitu menginjak usia 30 atau sudah menikah; lingkar perut mereka susah untuk dikontrol kembali.
Kegemukan, memang menjadi masalah masyarakat Melayu. Juga masyakarat India di Singapura.
Btw, kenapa saya bergabung dengan banyak tim sepakbola? Empat tim. Ada satu alasan yang itu, bisa menggambarkan betapa merakyatnya sepakbola di Singapura. Olahraga ini, dicintai sekaligus dinikmati oleh hampir semua lapisan masyarakat Singapura. Oleh anak-anak hingga kakek-kakek. Oleh pengangguran seperti saya hingga manajer bank bergaji seratus limapuluh juta sebulan. Oleh mereka bertubuh fit maupun yang sudah tak bisa lari karena keberatan badan. Oleh segala macam etnis dan komunitas kenegaraan yang ada di Singapura.
Saya pernah bermain dengan orang Spanyol, Jerman, Inggris, Brazil, Rusia, Myanmar, Thailand, Malaysia. Hanya satu bangsa yang belum pernah bareng bermain. Dari Philipina. Memang, kebanyakan orang Philipina tak suka sepakbola. Kalau cari orang Philipina di Singapura, Anda pasti bisa menemukan di dua tempat: di lapangan basket dan Orchard Road saat hari Minggu.
Kecuali tim hari Sabtu yang tak bermasalah dengan lapangan – karena main di taman pemukiman – tiga tim lainnya selalu bermasalah dengan lapangan bola. Di Singapura, pemerintah mengizinkan lapangan-lapangan di SMP Singapura dipakai untuk publik. Tentu saja di luar jam pelajaran. Lapangan-lapangannya, baik yang berumput asli maupun artifisial, nyaris semua berkualitas bagus. Kondisinya, mengingatkan saya pada lapangan rumput terbaik yang pernah saya injak di Indonesia: lapangan rumput di markas besar Kostrad di Singosari Malang.
Lapangan itulah letak persoalannya. Setiap tim, lewat internet, berebut booking lapangan yang memang dibuat gratis itu. Tiap game dapat jatah dua jam. Saking banyaknya tim yang ingin booking, seringkali tim-tim kami ndak kebagian. Padahal sudah booking dua minggu sebelumnya. Padahal, lapangan dibuka dari pukul 9 pagi hingga 7 sore.
Susahnya mendapat lapangan ini, membuktikan, olahraga satu ini masih menjadi salah satu olahraga yang paling digemari masyarakat di Singapura. Sangat banyak grup sepakbola yang aktif bermain di Singapura. Karena itulah saya menggabungkan diri dengan empat tim. HIngga bisa nyaris tiap minggu isa main. Kalau tim satunya tak dapat lapangan, ndilalah tim lain yang dapat. Jika keempatnya benar-benar tak dapat lapangan bola, cara terakhir, ya menyewa lapangan swasta. Dan itu tak murah.
Btw, meski paling popular, paling merakyat, kenapa timnas Singapura melempem? Jawabannya mudah: di sini, pemain sepakbola dibayar rendah. Meski begitu, menariknya, di sini sekolah-sekolah sepakbola subur Makmur oleh peserta, kompetisi-kompetisi amatir sekelas tarkam nyaris tak pernah berhenti sepanjang tahun. Dan semua itu digelar hanya untuk satu tujuan: berSENANG-SENANG dan mencari SEHAT! Dua hal yang bagi saya, justru menjadi ESENSI utama kenapa sepakbola diciptakan manusia.
(*)