“Madam Dog”, saya pikir sebutan ini tidak terlalu berlebihan. Dia, Madam Dog itu, seorang nenek berambut kelabu. Duduk di kursi besi taman di kawasan Hougang Avenue 8, Singapura, sambil asik ngobrol dengan puddel peliharaannya. Dibelainya dengan segenap kasih sayang, bulu anjing berwarna putih keriting yang mirip rambut vokalis Nidji, Giring, itu. Dipeluk-peluk. Ditimang-timang. Dan yang terlihat lebih mengakrabkan, diajaknya puddel itu bercanda layaknya teman sepermainan.
Puddel dog, di sini anjing jenis itu disebut. Tapi, tentu saja seseorang tidak bakal memanggil, “puddel… puddel…,” jika punya piaraan anjing jenis ini. Setiap anjing yang bernama tentu dipanggil namanya. Apa pun jenis anjing itu. Terserah mau itu jenis puddel, bulldog, kintamani, Siberian husky, anjing kurap, ataupun anjing korup.
Jika nama si anjing kebetulan Harto, jelas si pemilik akan memanggil anjingnya begini, “To… To… Harto…” Atau jika diksi Dahlan yang dipilih, apa pun jenis anjing itu pasti disapa, “Lan… Dah… Dahhhhhhhlannnnnnn…”
Di kampung saya di Malang, Jawa Timur sana, orang-orang menyebut anjing puddel dengan sebutan kerek kekek. Kerek berarti anjing. Kekek…, hmm, sudah saya tanya sana-sini, buka kamus sana-sini, belum ada jawaban yang memuaskan tentang kata yang satu ini.
Puddel dog berarti kerek kekek. Tapi, jika di Singapura si kekek diperlakukan bak kawan sepermaianan, di kampung saya dulu, anjing – jenis apa pun – di-kuyo-kuyo. Dihina-dinakan. Dicaci-maki. Dilempari tai. Siapa pun yang rumahnya ada anjingnya – selucu dan semanis apa pun anjing itu – dianggap kagak bermoral. Kalau bukan non muslim, pastilah mantan muslim. Duh, sebegitu jeleknya simbol anjing di kampung saya.
Padahal di negerinya Tuan Bush, seorang majikan anjing sanggup menghabiskan US$ 1.500 dolar untuk biaya dokter hewan, makanan dan mainan untuk anjing piaraannya. Di sana, anjing juga disekolahkan biar pintar.
Diikutkan kontes-kontes kecantikan. Ditangisi kematiannya. Bahkan, ada sebagian masyarakat Amerika yang sudah kadung keterlaluan, menikahkan anjing-anjing mereka dengan upacara besar-besaran. Upacara nikah lengkap: dari mendatangkan seorang penghulu, hingga sewa limousin untuk sang “pengantin”.
Kembali pada Madam Dog, saya perhatikan masih saja dia nyerocos dengan si kekek. Sayang, bahasa yang digunakannya tak saya pahami, bahasa Tionghoa. Kepada anak saya, Ken Danish, yang ketika itu saya ajak jalan-jalan di taman tersebut, saya bercanda, “Duh, sedihnya jadi orang Singapura. Ngobrol aja dengan anjing.”
Kenapa harus sedih? Dalam jalan-jalan di sekitar kompleks Hougang Sabtu (1 Desember) itu, saya mendapati empat orang seperti Madam Dog. Tiga lelaki dengan anjing-anjingnya, dan seorang nenek yang saya taksir berusia sebaya dengan Madam Dog. Jika dalam sebuah taman saja saya menjumpai empat manusia tua yang berbicara dengan anjing, bisa dibayangkan berapa jumlah opa-oma yang melakukan hal serupa di Singapura. Padahal, dari 4,6 juta warga negara Singapura, lebih dari 65 persen adalah golongan opa-oma. Golongan manusia lanjut usia alias manula.
Kenapa mereka tidak beromong-mengobrol dengan sesama manusia saja? Inilah kira-kira letak ketidakbahagiaan yang saya maksudkan. Sepengalaman saya setahun menikah dengan WN Singapura, menjadi warga di negeri mungil ini, mencari kawan sulit (kecuali kawan kerja atau kawan sekolah). Orang-orangnya selalu diliputi rasa curiga. Pintu-pintu rumah selalu tertutup dan digembok erat. Tidak ada senyum (kecuali senyum pramuniaga). Tidak ada tatapan mata persahabatan. Pokoknya cuek bebek, gitu.
Bahkan, para manula saja susah cari kawan. Padahal, apa sih yang harus dikhawatirkan dari seorang manula? Hingga mereka harus bercakap-cakap dengan hewan. Pantas saja dalam ranking negara terbahagia yang disusun New Economics Foundation, Singapura nangkring di posisi 131. Indonesia? Untuk soal bahagia-bahagiaan, bisalah kita sedikit berbangga. Posisi Nusantara berada di peringkat 23, jauh di atas Singapura. Meski jika kita membaca tingkah polah pejabat korup dan wakil rakyat kita, seolah-olah kita ingin cepat-cepat asah parang, memenggal kepala mereka.
Nah, kalau ranking Amerika yang rakyatnya gemar ngawinin anjing gimana? Negeri Paman Sam ini harus bangga berada di angka 150. Namun, jika ada survei anjing di negara mana yang paling bahagia? Saya menjagokan Amerika atau Singapura yang nongol di urutan teratas.
Adakah lembaga survei yang sanggup “berbicara” dengan anjing?