: Antara rupiah, ringgit, dan dolar Singapura
Ada tiga jenis uang di dompet saya, Selasa (17/10). Rupiah, ringgit, dan dolar Singapura. Ya, hari Minggu (15/10) kebetulan baru balik dari Batam. Masih ada beberapa sisa-sisa uang kembalian berbentuk di dompet. Sementara untuk ringgit, masih ada beberapa ratus ringgit, sisa dari “jalan-jalan” September 2017 lalu ke Ipoh, Malaysia. Saya memang tidak ingin menukarnya, ya karena kami memang sering bepergian ke Malaysia.
Saya punya dua dompet, yang – duh sialnya – kedua-duanya hadiah dari istri. Seingat saya, seumur-hidup baru beli sekali dompet. Mereknya Eiger, waktu jaman kuliah. Dompet yang kini “bangkainya” bahkan masih ada. Selain itu, kalau tidak memakai dompet pemberian seseorang, ya pakai dompet bekas siapa saja yang bisa saya pakai. Saya pula, paling anti, menebal-nebalkan dompet, mengisinya dengan aneka kartu “fake“, terus menaruhnya di saku belakang jelana jeans. Kayak pria-pria jantan itu!
Bagi saya, jantan tidaknya pria, bukan terletak pada tampilan dompet yang tebal. Tapi, seberapa “tebal” isi kepala kita. Bukankah pula, sekarang sudah tidak lagi jamannya dompet tebal? Lha wong semua serba digital. Uang pun, uang digital. Kalau ndak percaya, coba tanya Setya Novanto yang politikus sakti mandraguna itu! Pasti Anda akan ditunjukin dompet tipis miliknya. Hehehe…
Dompet yang saya pakai sehari-hari, selalu yang berisi dolar. Sementara dompet satunya yang sudah lecek, biasanya untuk tempat menyimpan rupiah dan ringgit. Jadi, kalau saya balik Batam, tinggal mengambil rupiah. Kalau ke Malaysia, tinggal mencomot ringgit.
Dolar Singapura? Ya, ini yang setiap hari “menghuni” dompet saya. Lha wong memang saya kini tinggal di sini: negeri seuplik berjuluk Singa ini.
Pagi ini, ketika saya hendak memindahkan sisa-sisa rupiah dari dompet yang biasa saya pakai ke dompet satunya, saya tertarik melihat kondisi rupiah-rupiah ini. Nyaris semuanya – kecuali yang pecahan 50an ribu – lecet, mblawuk, sobek sana-sini, dekil, berdebu, bahkan banyak tulisan atau gambar di rupiah pudar. Kondisi itu, bahkan terjadi pula pada rupiah-rupiah terbaru, yang beberapa waktu lalu muncul dan kemunculannya sempat jadi kontroversi karena mirip Yuan, mata uang China. Sedih sekali melihat nasib rupiah yang begitu memprihatinkan. Hal yang tidak pernah saya temukan pada dolar Singapura. Ringgit? Nasibnya ada di tengah-tengah antara dolar Singapura dan rupiah.
Jika rupiah saja diperlakukan begitu “kejamnya”, gimana kita memperlakukan pejahat-penjahat jalanan???!!! Hmmm, saya jadi tak tega untuk membayangkannya. Bertahun-tahun, saya bersinggungan dengan penjahat-penjahat jalanan, dan kalau saya ceritakan kekejaman kita di sini, bisa jadi buku setebal kitab suci.
Kalau Anda punya keinginan jadi pejahat, mungkin sebaiknya di luar negeri saja. Haha…, biar tidak diperlakukan “sekejam” rupiah. Beberapa waktu lalu, ketika menyebrang memakai kapal fery Singapura-Batam, saya sempat terlibat obrolan dengan napi yang baru dikeluarkan dari penjara Singapura karena kasus nyolong minyak kapal tanker. Mereka, pelaut-pelaut kita, dipenjara selama sepuluh bulan. Seorang di antaranya sempat nyeletuk, “keluar penjara kok malah gemuk-gemuk dan segar gini.”