SMS itu datang terlalu pagi. Dari seorang kawan wanita, karyawati hotel di daerah Nagoya. Begini bunyi SMS-nya: Emangnya di sekolah anak-anak diajarin apa? Kok pagi seperti ini ada anak berseragam check in di hotel. Kubalas SMS-nya: Ini Batam! Batam memang seksi. Hehe.
Saya sebetulnya tak terperanjat dengan isi SMS itu. Sepasang laki-perempuan yang satu di antaranya masih berstatus siswa, menyewa sekamar hotel? Itu sudah menjadi hal yang biasa. Saya hanya merasa, SMS itu datang terlalu pagi. Di Nokia 2300 milik saya, SMS itu menunjuk di angka pengiriman 09.13 pagi. Prediksi saya, rekan wanita saya mengabari saya lewat SMS, sesaat seusai memberesi pesanan kamar sepasang muda itu. Busyet! Apa sekarang kelas-kelas sekolah sudah pindah ke kamar-kamar hotel, bathin saya. Saya yang mantan guru, hanya bisa mengelus dada. Jangan-jangan satu di antara pemuda yang tengah booking kamar itu adalah salah satu mantan anak didik saya.
Beberapa waktu silam, saya juga sempat berkenalan dengan seorang makelar. Bukan makelar motor, tanah, apalagi makelar perkara! Makelar yang satu ini mengaku mengkhususkan diri menjadi perantara antara “kartini-kartini” SMA yang mengais uang jajan dari leleran sperma lelaki yang mau membayarnya. Beberapa foto si siswi, diperlihatkannya lewat layar HP mutakhir yang ia punya. Cantik-cantik memang! Di semua foto itu, siswi-siswi itu berpose semi telanjang, dengan baju abu-abu putih yang dibiarkan menyisa.
Itu juga bukan sesuatu yang luar biasa. Tapi, jika dalam waktu yang hampir bersamaan ada seorang nenek yang mengaku diperkosa oleh seorang bapak muda, akal sehat saya seolah-olah tak mampu menerimanya. Segila apa orang-orang di Batam ini?
*
Rabu petang, 16 April 2008 silam, Nokia tua saya berdering sesaat sebelum motor saya sampai di halaman rumah. Si penelepon, seorang wanita, mengaku ingin bertemu, berbagi kisah dengan saya. Berbagi kisah dengan pembaca Posmetro. Dia menelepon saya, karena nomor HP saya , tercantum di halaman Lembaran Kelam. Salah satu halaman yang paling atraktif yang pernah saya urus. Survei kecil-kecilan pembaca Posmetro, halaman Lembaran Kelam terpopuler kedua setelah rubrik guyonan saru si kutu-kupret Brewok yang diasuh kawan editor yang sama brekele-nya dengan sang tokoh rekaannya, Susanto.
Hampir setengah tahun terakhir ini saya dipercaya mengasuh halaman Lembaran Kelam. Satu rubrik di halaman Posmetro yang mengkhususkan diri menuliskan kisah-kisah tragis kehidupan seseorang. Setengah tahun mengasuh halaman ini, kepala saya jadi terbuka: bahwa seorang pelacur penyakitan sekalipun, bisa jadi adalah seorang yang masih sangat beruntung. Seribu-satu kisah tragis warga Kepulauan Riau, memenuhi inbox Nokia dan email saya. Pernah satu bagian cerita yang dikirim pembaca lewat SMS, membuat HP saya error.
Saya sarankan pada wanita yang menelepon saya itu untuk menulis kisahnya di sepucuk surat, dan dikirim ke kantor Posmetro. Tapi dia ingin menceritakannya secara langsung kepada saya. Alasannya, agar beban yang ia tanggung selama bertahun-tahun bisa terkurangi saat bercerita kepada saya. ”Ini sangat secret, hanya saya sendiri yang tahu. Tidak keluargaku,” kata wanita itu, sebut saja Martha. Suaranya lincah mengalir dengan deras. Pelafalan secret yang begitu sempurna, menghadirkan bayangan di otak saya, wanita yang menelepon saya adalah seorang ibu ningrat berusia 45-an tahun, berpendidikan baik, genit, kaya, namun penuh persoalan. Serta sangat mengagumkan. SMS-SMS Ibu Martha yang dihujankan kepada saya berikutnya, juga selalu menyertakan aneka macam istilah Inggris. Saya, hampir-hampir tidak mampu mengartikannya. Sebentuk kebodohan saya jika dibandingkan dengan Ibu Martha.
Empat hari kemudian, kami bertemu muka di sebuah kedai masakan Padang di daerah Legenda Malaka, Batamcentre. Bayangan semula tentang Ibu Marta buyar ketika mata saya menangkap sosok seorang nenek dengan kulit berkeriputan sana-sini. Memakai setelan celana panjang gelap dengan kemeja sewarna, untungnya, bayangan keningratan dan berpendidikan yang baik, tak sepenuhnya meleset.
Dan, apakah saya seratus persen percaya ketika nenek di depan saya itu mengatakan bahwa dia telah diperkosa seorang lelaki muda? Tentu saja tidak. Yang pasti, saya nyaris tidak mampu memandang dua bola mata di balik kacamata minus Ibu Martha ketika mendengarkan kisahnya. Saya tidak mau dia semakin merasa malu, merasa bersalah, atau berdosa, jika sepanjang pembicaraan kami, pandangan mata saya menghujam matanya.
Berikutnya, mengalirlah segenap peristiwa tragis yang dialaminya. Maaf, saya tak bisa menuliskan secara detail, peristiwa Ibu Martha. Saya terikat janji untuk hanya menuliskannya di rubrik Lembaran Kelam. Itupun semua nama dan lokasi kejadian disamarkan.
Saya tahu dia sangat sedih ketika menceritakan hal ini. Sepanjang dia berkisah, dia berusaha menahan diri agar tak menumpahkan air mata. Kerut-kerut di seputar matanya mengecil, ketika lingkar matanya mengembung menahan air mata.
Sepanjang obrolan kami, saya hanya memposisikan diri sebagai pendengar. Sedikit ceritanya saya sela, hanya untuk memastikan beberapa detail yang nantinya akan saya kembangkan dalam tulisan di Lembaran Kelam.
Dengan tarikan nafas panjang, dia akhirnya berhasil menyelesaikan ceritanya. Saya tidak ingin berlama-lama dalam sebuah kesedihan yang dihadirkan. Saya pamit pulang. Menggeber motor ke rumah salah satu famili saya di Perumahan Bida Asri yang malam itu tengah hajatan: selamatan tujuh bulan sebuah kandungan. Merayakan sebuah bakal tunas yang akan mewarnai kehidupan Batam.
*
SMS kawan wanita saya itu datang terlalu pagi. Bahkan mata saya masih layu, menyisakan kantuk dari begadang, ketika membaca SMS soal sepasang siswa yang baru saja memesan sebuah kamar hotel. Tiba-tiba saja saya teringat dengan deretan nama mantan siswi saya: Jangan-jangan siswi yang tengah mem-booking kamar hotel itu si Nindi? Maisyaroh? Atau bisa jadi si Tety yang centil dan pemberani itu?