Sultan Yohana
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
Sultan Yohana
No Result
View All Result
Home Catatan Lepas Ngalor Ngidul

Kian Meng-Golput

Sultan Yohana by Sultan Yohana
February 9, 2009
in Ngalor Ngidul
0
0
SHARES
2
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Sebuah pertanyaan dari seorang rekan menyodok kegolputan saya. Tidak memilih memang sebuah pilihan, tapi apakah kita akan membiarkan proses demokrasi dikuasai caleg-caleg culas yang menjadi penyebab golput itu sendiri? Jawaban sementara saya kira-kira begini, “Pemilu 2009, saya masih tetap golput sembari menunggu caleg yang membumi. Entah sampai kapan.”

Dalam begadang Minggu malam di pekan kedua Februari yang disertai secangkir kental kopi cap Tangker, kami membicarakan demokrasi. Sangat Melayu! Namun itu sudah cukup membasuh dahaga dari rutinitas kerja yang itu-itu saja. Sejauh ini, kerja saya menyenangkan. Tapi, rutinitas tak jarang membuat semua berangsur runyam. Harus ada secangkir kopi kental (atau sekaleng bir) di antara obrolan panjang agar hidup kembali bergairah. Minggu malam itu, secangkir kental kopi cap Tangker, mie rebus, rokok, serta gorengan, sudah sangat membantu mengembalikan kegairahan. Dan obrolan tentang demokrasi, tidak ada salahnya untuk kita kemukakan di musim partai tebar pesona seperti sekarang ini.

Kegolputan saya sejak 1998 dipicu oleh ketidakpercayaan saya pada para politikus, bukan demokrasi itu sendiri. Ini memang klise, dan (seharusnya) tidak perlu saya banggakan. Tapi ketika seorang rekan bertanya tentang pilihan menjadi golput, jawaban klise itu kembali mengemuka. Meng-golput bukan saya takut dosa karena khawatir memilih politikus culas. Meng-golput adalah pilihan itu sendiri. Demokrasi. Dan dosa bagi saya, adalah melakukan apa pun tanpa kita menyadari apa yang tengah kita lakukan itu. Dalam hal apa pun. Sholat bagi saya berdosa ketika kita tidak punya cukup kedigjayaan untuk mengetahui untuk apa kita melakukan sholat.

Minggu pagi sebelum malam begadang itu, bersama rekan-rekan wartawan Batam kami beradu otot di lapangan futsal melawan pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Skor imbang 5-5, dan Tifatul Sembiring memborong dua gol PKS. Jika bukan karena tubuh tinggi besar Ria Saptarika yang berada di bawah mistar PKS, mungkin gawang mereka sudah kami berondong belasan gol.

Saya tidak mencetak sebiji pun gol. Posisi saya di pertahanan. Tapi sudah cukup puas menjengkangkan dua kali kaki Tifatul, presiden PKS itu. Membuat dia melontarkan peringatan keras pada saya. “Hey… jangan (tendang) kaki lah,” begitu katanya sembari mengacungkan dua jarinya. Entah sebagai penanda peace atau peringatan dia bahwa saya telah melanggarnya dua kali.

Untuk selanjutnya membiarkan tubuh ringkih saya dihujani emosi Tifatul yang meledak lewat bebatan kakinya pada saya, gaprakan bola, serta aneka jenis kekasaran lain.

Hal itu biasa di permainan futsal. Saya salut dengan reaksi berani Tifatul. Dalam bahasa daerah saya di Malang, ”Arema banget!” Dia saya kasari, dan dia membalas dengan tanpa belas kasih. Saya gembira dengan hal ini. Saya beranggapan dia cukup punya nyali untuk mempertahankan kepentingannya. Ideologinya.

Mungkin bagi Tifatul dan praktisi partai lainnya, futsal hanyalah sebuah permainan. Melawan para wartawan di musim kampanye seperti ini adalah trik untuk mengakrabi kami, untuk selanjutnya merengkuh untung lewat pemberitaan. Bagi saya, futsal – juga sepakbola – adalah bagian dari permainan emosi. Sepakbola adalah cara yang tepat untuk mempelajari karakter lawan. Menelisik sejauh mana tingkat intelektual lawan. Untuk selanjutnya berdialektika, mengira-ngira lingkungan hidup seperti apa membesarkan mereka; apa saja yang sudah mereka pelajari; buku apa saja yang sudah mereka baca; bagaimana kehidupan religi mereka; bahkan kita bisa bisa sedikit mengintip apakah kehidupan seksual lawan main sehat adanya.

Kenapa bisa demikian? Karena bola itu permainan cerdas. Kapten AS Roma, Fransesco Totti, mungkin hanya seorang pemain bola tamatan sekolah dasar. Bahkan membaca surat perjanjian kontrak bernilai jutaan dolar pun pun harus dibantu istrinya. Tapi untuk urusan mempelajari lawan untuk kemudian menarik untung lewat sebuah permainan bola, Totti adalah salah satu ahlinya. Wayne Rooney bisa jadi dianggap mantan pelatihnya di timnas Inggris, Sven-Goran Ericsson, sebagai pemain hebat tak berotak. Karena sejarah kehidupan masa kecilnya yang melarat dengan keluarga kacau. Tapi, striker Manchester United itu tak akan membiarkan dikasari lawan, dan akan membalas dengan lebih jika ada lawan yang mencoba memprovokasinya. Rooney tidak pintar, tapi jelas ia tidak mau dilecehkan seenak lawan bisa. Tapi sayangnya, Tifatul bukan pemain bola. Dia presiden PKS dan bisa jadi nanti menjadi presiden Indonesia. Dan politik, tentu saja jauh lebih jahat ketimbang permainan bola.

Lalu apa hubungan demokrasi, kegolputan saya, dan futsal di Minggu pagi itu? Begini: Di antara sederet partai yang saya pelajari, PKS sempat mencuri perhatian saya. Ketika pertama kali membaca dan melihat sepakterjang Hidayat Nur Wachid dkk di media-media, saya jatuh hati dengan partai ini. PKS bagi saya sebuah partai modern, santun, dan menawarkan tradisi religius yang berintelektual. Karena golput, saya memang belum sempat mencoblos PKS. Tapi dalam perkenalan awal itu, hati saya berbungah, ternyata masih ada partai yang mungkin masih bisa saya andalkan. Saya yang masih menggemari bir, ternyata bisa jatuh hati dengan PKS.

Saking berharapnya dengan partai yang satu ini, menjelang pemilu 2004 silam saya harus menelepon ibu di Malang. Berdiskusi kecil tentang partai apa yang akan kami (ibu) coblos. Saya menyarankan ibu untuk memilih PKS, meskipun secara tradisional kami adalah pendukung Gus Dur. Kepada beberapa karib, saya juga merekomendasikan PKS sebagai partai pilihan, partai yang bisa diharapkan. Meskipun ketika itu, saya teguh tidak mencoblos. Demokrasi, memberikan ruang pada saya untuk tidak memilih.

Ironisnya kemudian, PKS di mata saya tumbuh menggurita dengan idealis awal yang tidak terpertahankan. Dari partai itu, lolos politikus-politikus abu-abu yang merusak kepercayaan saya pada PKS. Di Batam, siapa yang tidak jengah dengan wakil-wakil PKS yang “begitu-begitu” saja. Ria Saptarika, wakil walikota Batam itu, tidak cukup hebat membela kepentingan rakyat. Setali tiga uang Aris Hardi Halim, ketua DPRD dari PKS. Sepakterjangnya di Gedung DPRD sama lambannya ketika ia menendang bola atau dengan mudah dilewati oleh pemain bola kami. “Nafasnya” tak cukup panjang untuk membela kepentingan rakyat, menolak kenaikan tarif listrik, ATB, atau mengusahakan kenaikan upah minumum kota yang layak. Aris tak punya “nafas” untuk bisa bermain futsal selama 2×20 menit.

Dan Tifatul, si presiden PKS itu, tak cukup menyadari saat kakinya terbebat oleh kaki saya sebanyak dua kali, karena kelambanannya bergerak menghindar. Dia emosi karena menganggap saya bermain kasar. Dia tak menyadari bahwa dirinya tak cukup cepat menarik dan menyelamatkan kakinya, saat saya menerjang bola yang ia pegang. Kemudian dia bermain membabi-buta, mencoba membalas saya. Dan alasan ini, sudah cukup untuk semakin mengentalkan kegolputan saya. Setidaknya untuk pemilu 2009 nanti.

Sultan Yohana

Sultan Yohana

Related Posts

(Lagi-lagi) Tambah Ongkos Lagi
Ngalor Ngidul

(Lagi-lagi) Tambah Ongkos Lagi

September 13, 2017
Fotografer se-Model Apa Anda?
Ngalor Ngidul

Fotografer se-Model Apa Anda?

January 19, 2016
Masihkah Anda Berpikir Habibie Seorang Jenius?
Ngalor Ngidul

Masihkah Anda Berpikir Habibie Seorang Jenius?

April 16, 2014
Next Post
Foto yang (pernah) Ditolak

Foto yang (pernah) Ditolak

Kisah Cinta Dua Singa (12)

Kisah Cinta Dua Singa (12)

Seperti Artis, Menggunjing Aris

Seperti Artis, Menggunjing Aris

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Me

Rekomendasi

Malam ini aku ingin mendengar ini:

19 years ago

Pak DPD, Semenit Kau Buat Bahagia

14 years ago
Bos dan Juragan Berkelas: yang selalu membayar layak karyawannya

Bos dan Juragan Berkelas: yang selalu membayar layak karyawannya

9 months ago

Monyet Ekor Panjang di Sebuah Pojok Singapura

8 months ago

Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.

Kategori

  • Batam
  • Bolaisme
  • Catatan Bola
  • Catatan Lepas
  • Catatan Publik
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
  • Humaniora
  • Indonesiaku
  • Jurnalisme
  • Kultur
  • Ngalor Ngidul
  • Politisasi
  • Review
  • Sastra
  • Singapura
  • Tentang Aku
  • Video

Topics

Abdul Gofur Air minum Alas kaki Batam Bule Cara mengajar Catatan Cerita Dollar Ekor panjang Fasilitas Foto Gadis China Guru Humaniora Indonesia Johor Kedai Kucing Kurs Malang Malaysia Masjid Monyet Mudik Pajak Pedagang Pendidikan Pengemis Perpustakaan Photo Premanisme Profesi rasa singapura Rezeki Rotan Sejarah Sepeda Singapore Singapura Taipei Taiwan Tanjungpinang Vietnam Warung
No Result
View All Result

Highlights

“Membeli” Perempuan Vietnam

Bakul Gedhe dan Bakul Cilik

Perpustakaan dan Pajak Kita

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Trending

Rotan Pemukul Bocah
Humaniora

Rotan Pemukul Bocah

by Sultan Yohana
September 7, 2025
0

SAAT melewati toko pecah-belah, Senin (25/8) malam, istri saya menunjukkan seikat rotan yang dijual toko. "Untuk apa...

Tip untuk Guru: Ikhtiar Agar Profesi Guru Tetap Barokah

Tip untuk Guru: Ikhtiar Agar Profesi Guru Tetap Barokah

August 29, 2025
Delapan Karakter Unik Singapura

Delapan Karakter Unik Singapura

August 21, 2025
“Membeli” Perempuan Vietnam

“Membeli” Perempuan Vietnam

July 9, 2025
Bakul Gedhe dan Bakul Cilik

Bakul Gedhe dan Bakul Cilik

June 25, 2025
Sultan Yohana

© 2023 Sultan Yohana

Kunjungi Juga

  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Kontak

Ikuti Saya

No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek

© 2023 Sultan Yohana