“Jangan bercanda lah, masak apel di Batam lebih mahal ketimbang apel Singapur (a). Ndak lucu lah kalau kami yang penghasilannya sepuluh kali lebih rendah dakalian harus bayar apel lebih mahal.”
Saya masih ingat kalimat saya itu ketika mendebat pernyataan istri saat mengecek struk belanja dari Hypermarket, beberapa waktu lalu. Ketika itu kami baru saja belanja mingguan, dan istri baru beberapa pekan cuti untuk tinggal sementara dengan saya di Batam. “Tiga biji apel sama, kami cuma beli dengan harga satu dolar tigapulu sen (sekitar Rp9 ribu). Di sini duabelas ribu,” kata istri saya lagi. Di titik itu saya belum percaya. Tentu saja saya tidak terima, jika istri saya yang gaji sebulannya lebih besar dari gaji saya setahun di negaranya bisa membeli apel lebih murah. Apa-apaan negeri ini memperlakukan rakyatnya?
Tapi betul. Beberapa saat kemudian ketika saya diajak belanja di Singapura, apa yang dikatakan istri betul. Kami membel apel dengan kualitas dan jenis yang sama dengan harga jauh lebih murah ketimbang beli di Batam. Saya jadi kebingungan, rumus matematika seperti apa yang dipakai untuk menjelaskan fenomena ini?
Mungkin para PEJABAT Asosiasi Pengusaha Indonesia Batam (Kepri) yang gemarnya ngancam-ngancam pemerintah soal upah minimum regional (UMR) beralasan saya tak bisa menyodorkan njomplangnya harga apel sebagai indikasi buruknya pendapatan yang diterima buruh di Batam. Tapi bagaimana kalau saya menyodorkan harga sepiring nasi Pak Pengusaha? Anda-anda Pak Pengusaha yang saya yakin gemar berkeliling Singapura tiap minggu pasti tahu, sepiring nasi ayam lezat di Singapura, bisa didapat dengan harga yang sama dengan sepiring nasi ayam di Pasar Mitra Mall. Atau seporsi nyam-nyam sup ikan kegemaran saya, di Singapura bisa saya dapat dengan harga yang sama dengan seporsi bebek goreng plus minuman jeruk hangat di Kedai Babe langganan saya di Mega Legenda.
Saya bertanya lagi pada para pengusaha, juga pemerintah yang merumuskan UMR, dan perwakilan para serikat buruh yang selalu ngotot berkoar-koar minta upah naik (tapi kemudian diam membisu), rumus apa yang Anda pakai untuk menentukan upah karyawan jika kami harus membayar lebih mahal makanan yang kami makan ketimbang yang dibayar rakyat Singapura?
Marhaban ya Ramadan, selamat datang tambahan kesengsaraan. Beberapa hari lalu rekan sebelah meja berkeluh kesah pada saya. “Gendeng Cak, bojoku kaget temen ndelok rego beras naik posoan iki. Guendeng…” begitu keluh kesah rekan saya dalam bahasa Jawa. Kalau saya terjemahkan kira-kira demikian, “Gila Mas, istri saya terkaget-kaget melihat kenaikan harga beras awal Puasa ini. Betul-betul edan.”
Belum lagi nanti menjelang Lebaran, kata kawan saya, masih harus beli ini-itu. Baju baru untuk keluarga, kirim uang untuk orangtua dan saudara di kampung, atau sekedar membeli kembang api untuk menghibur si anak. “Mana cukup THR sebulan? Malah tekor,” tambahnya sambil terkekeh.
Enam tahun saya merasakan puasa (juga Hari Raya Idul Fitri) dengan status sebagai suami warga Singapura, saya belum pernah melihat lonjakan harga menjelang hari-hari besar di Singapura. Harga beras stabil, harga celana kolor stabil, harga tiket pesawat juga stabil. Bahkan tahun lalu, saya terpaksa pulang kampung lewat Singapura, mengingat harga tiket PP di sana sama dengan harga sekali jalan tiket Batam-Surabaya.
Gila betul negeri tercinta ini dikelola?!
Pembaca, keluhan teman saya dan juga pengalaman saya di atas tentu menjadi obrolan biasa sehari-hari ketika memasuki bulan Ramadan seperti sekarang ini. Tapi gimana lagi, kita tak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi seperti ini. Hanya bisa nggerundel di hati sembari bersumpah serapah, memaki keadaan tanpa tahu siapa yang sesungguhnya harus dimaki. Tapi percayalah pembaca, setiap tindakan pasti ada ganjarannya. Tentu kalau kita percaya Tuhan itu Adil.
Pengusaha yang tamak dan ogah membayar gaji layak karyawannya, mungkin satu saat akan dirampok oleh karyawannya yang lapar. Pejabat yang gemar menerima sogokan dari pengusaha agar UMR tidak naik tinggi-tinggi, mungkin akan diperiksa KPK dan masuk penjara. Atau toke-toke sembako yang cari untung gede dan tak masuk akal saat Ramadan seperti ini, disatroni maling kedai mereka.
Marhaban ya Ramadan, mohon maaf lahir bathin. Semoga kita semua dihindari dari kesengsaraan.
(sultan yohana)